Indie Label, Pergerakan Yang Tak Pernah Mati

Dalam industri musik kita mengenal istilah major label dan indie label. Major label adalah sebuah perusahaan rekaman besar kapital seperti Sony BMG, Universal, EMI, atau Warner. Sebaliknya, indie label diartikan sebagai sebuah perusahaan rekaman kecil yang mandiri, Do It Yourself, dengan skala yang tidak sebesar major label. Nama-nama indie label seperti Sub Pop Records, Dischord Records, Fat Wreck Chords Records, dan masih banyak lagi cukup dikenal orang-orang dan memiliki pengaruh tersendiri bagi industri musik.


Di Indonesia sendiri, pergerakan indie label dimulai ketika Pas Band merilis album pertamanya “4 Through The Sap” sekitar tahun 1993. Banyak yang meyakini bahwa album ini menjadi cetak biru indie label yang berkembang di Indonesia secara kebanyakan. Dulunya, indie label berdiri hanya sebatas “bendera” pengenal buat band tersebut, seperti SAP Management untuk Pas Band dan Pupcore untuk band Puppen. Karena pada era itu kebanyakan sebuah band merilis albumnya sendiri (self released).

Salah satu indie label yang paling berpengaruh di Indonesia yaitu ketika pada pertengahan tahun 90-an muncul kompilasi “Masindahbangetsekalipisan” rilisan 40.1.24 Records. Label milik Richard Mutter (ex- Drummer Pas Band) ini dianggap sebagai salah satu pionir indie label di Indonesia. Kemudian setelah itu bermunculan indie label lainnya seperti Riotic Records, Harder Records, FFWD Records, My Own Deck Records, Maritime Records, Aksara Records, Pavilliun Records, Rottrevore Records, dll.

Ada beberapa karakter indie label yang membuatnya bisa bertahan di tengah pergolakan industri musik. Kini banyak major label yang gulung tikar, dan bukan tidak mungkin justru indie label kini menyeruak ke permukaan. Seperti apa yang diramalkan oleh John Nasbitt dalam bukunya Global Paradoks bahwa perusahaan besar kelak akan digerogoti oleh perusahaan-perusahaan kecil. Well, mungkin saja ini bisa menjadi kenyataan…

Salah satu karakter indie label yaitu spesifik dan personal yang bisa membuat indie label bertahan di tengah carut marutnya industri musik Indonesia. Indie label menawarkan selera musik yang berbeda dari selera pasar settingan major label. Karena berdasarkan selera musik pemilik label yang spesifik, maka indie label pun berdiri menawarkan selera musik alternatif dari musik-musik yang ada. Karena sepesifik dan personal, sebuah indie label pun lebih memiliki karakter dan image tersendiri. Contohnya, FFWD Records yang dikenal dengan musik-musik indie pop-nya atau Rottrevore Records yang dikenal merilis musik-musik death metal.

Indie label pun berperan penting dalam mendokumentasikan scene musik di suatu daerah. Sub Pop Records adalah sebuah indie label asal Seattle, Amerika yang sangat berperan penting dalam mendokumentasikan musik grunge. Hingga kemudian musik grunge mulai dikenal ke seantero dunia. Karena karakter indie label yang mengandalkan modal sosial dan proximity (kedekatan) dibandingkan modal kapital, membuat sebuah indie label bisa lebih paham akan trend dan gejala budaya yang ada di daerah tersebut. Karena memiliki karakter seperti itulah indie label bisa bertahan.

Wajah baru indie label pun kini menyeruak ke dunia maya. Salah satu yang paling terkenal yaitu net-label, atau biasa disebut pula web-label, online label, atau MP3 label. Di tengah kondisi industri musik Indonesia yang terancam oleh pembajakan, justru net-label membolehkan orang-orang untuk mendownload musik-musik di situs mereka secara gratis! Biasanya apa yang dikedepankan olah para net-label ini yaitu kreativitas para musisi yang tak bisa dibendung oleh industri. Sehingga cenderung net-label menyajikan musik-musik yang “bukan industri”. Untuk itu, net-label menjadi salah satu alternatif untuk mendistribusikan musik. Saat ini Net-label yang baru muncul di Indonesia yaitu Yesnowave asal Yogyakarta. Namun kini bermunculan pula web-zine yang juga berfungsi seperti net-label seperti Deathrockstar.info yang merilis album terbaru Koil, “Blacklight Shines On” secara gratis lewat situs mereka. Selain itu, webzine asal semarang bernama Semarangonfire.net pun kini melakukan hal serupa dengan Deathrockstar.

Seperti itulah mengapa indie label ibarat liliput kecil yang bisa bertahan di tengah pulau yang dikepung oleh banyak raksasa (major label). Indie label selalu memiliki banyak karakter dan alternatif untuk bertahan. Seperti yang terjadi ketika paro pertama tahun1920-an saat industri rekaman didominasi Columbia, Edison, Victor, atau ARC. Kala itu, indie label muncul menyeimbangkan keadaan. Indie label seperti Paramount, Okeh, Vocalion dan Black Patti, adalah beberapa di antaranya yang menyeruak ke permukaan industri musik dunia dan menggeser major label saat itu.

Perlawanan indie label tak urung membuat banyak raksasa terluka, bahkan sebagian di antaranya tak sanggup lagi bertarung. Edison, misalnya, meninggalkan gelanggang dan berkonsentrasi pada radio dibandingkan menjadi perusahaan rekaman. Belum lagi Columbia yang diambil CBS, atau Victor yang dikuasai raksasa baru RCA.

Inilah bagaimana indie label dianggap sebagai pergerakan yang tak pernah mati!

0 komentar:

Post a Comment