Demokrasi di Kotak Televisi

Menjelang Pemilu 2009, suhu politik mulai menyengat. Tak hanya di gedung DPR yang sarat manuver politik atau jalan-jalan yang penuh poster para calon anggota legislatif, panasnya suhu politik di negeri kita juga terasa di layar kaca. Lihat saja saat ini, stasiun televisi seakan berlomba menyajikan tayangan bergenre politik.


Roma Arjakusuma (23), Mahasiswa Jurnalistik Fikom Universitas Padjadjaran, mengaku senang mencermati beragam program politik di televisi. Di kotak katoda itu ia bisa mengetahui sepak terjang dunia politik.

“Di televisi itu lah saya bisa mengetahui sepak terjang partai dan para figur politik,” ujar Roma.

Roma yang mengaku senantiasa menonton tayangan politik favoritnya yaitu The Candidate, Debat Caleg, dan Republik BBM. Menurutnya, tayangan-tayangan politik di televisi masih belum maksimal karena pihak televisi masih memikirkan rating belaka dibandingkan sisi edukasi. Ia berharap pendidikan politik muncul dari media massa selain dari kaderisasi partai.

Menjelang Pemilu 2009 ini beragam sajian program politik wara-wiri menghiasi layar kaca kita. Berbagai kemasan untuk menarik penonton pun dihadirkan. Elemen-elemen untuk menarik minat penonton pun tak lupa dihadirkan macam riuh tepuk tangan, dramatisasi emosi, hiburan, komedi satir, dsb.

Contohnya dalam acara Debat yang ditayangkan oleh TV One setiap hari Rabu pukul 19.00- 20.30 yang menghadirkan dua kubu untuk saling debat. Diskusi berlangsung dengan masing-masing kubu memajukan seorang panelis. Suasana diskusi yang seru, tak jarang ditingkahi teriakan dari kedua kubu penonton, membuat program ini kian menarik bahkan bukan tidak mungkin terjadi debat kusir dan melebar ke permasalahan lain.

Contoh lainnya, pada acara Kontrak Politik yang menyajikan reality show soal politik, menghadirkan dramatisasi emosi bak sinetron atau reality show-reality show penuh kesedihan yang sedang semarak di televisi saat ini.

Pada tayangan perdana Kontrak Politik, Rabu (25/2) pukul 22.30, tampil seorang klien bernama Pak Sidup, warga bantaran Sungai Ciliwung yang ingin pindah dari rumahnya yang tidak layak huni, tetapi tidak punya uang dan pekerjaan. Tim Kontrak lalu mendatangi Raya Pertiwi (PDI-P) dan Nova Riyanti Yusuf (Partai Demokrat).
Awalnya, program kedua caleg itu sempat gagal karena tidak realistis. Pada babak berikutnya, salah satu program milik Nova berupa pinjaman modal dagang dipilih keluarga Sidup karena dianggap bisa menyambung hidup dan berkelanjutan.

Komunikasi Politik
Menurut Pakar Politik dan Hukum dari Universitas Parahyangan, Asep Warlan bahwa fungsi televisi dalam demokrasi merupakan elemen yang sangat penting. Televisi yang merupakan salah satu bagian dari media massa yang paling masif seharusnya bisa memberikan pendidikan politik bagi masyarakat. Televisi seharusnya memberikan fungsi sosialisasi, membangun kesadaran politik, dan menjadi alat kontrol.

“Sosialisasi, membangun kesadaran politik, dan menjadi alat kontrol masih belum maksimal dijalankan televisi. Semua televisi berupaya pada hiburan politik. Wajar saja karena mungkin industri media dan iklan tidak begitu menginginkan sesuatu yang membosankan atau serius yang justru akan dihindari oleh masyarakat. Tapi di situlah letak kehilangan gregetnya,” ujar Asep Warlan.

Menurut Asep Warlan, seharusnya televisi bisa menyajikan secara seimbang antara edukasi, informasi, dan hiburan. Ia juga melihat sajian-sajian di televisi kurang menyajikan sesuatu secara mendalam, hanya sebatas permukaan, dan tidak menjawab kebutuhan rakyat.

“Contohnya saja, mengapa proses rekruitmen caleg begitu mudah? Itu kan tidak dijawab oleh televisi. Atau ketika banyak terjadinya pelanggaran kampanye, kenapa televisi tidak menjawab apa yang melatarbelakangi itu. Jangan hanya sebatas menampilkan saja secara permukaan,” ujarnya.

Sementara Pakar Budaya, Yasraf Amir Pilliang mengatakan bahwa komunikasi politik yang ada di televisi saat ini kurang efektif. Problemnya ada pada struktur kepartaian dan dilema televisi itu sendiri.

“Struktur partai yang ada tuh terlalu banyak, mungkin hal ini ada kaitannya dengan aktivitas pesan. Karena terlalu banyak maka, jenis iklan juga banyak, simbol, moto, dan slogan terlalu banyak. Akibatnya iklan politik yang ada di Indonesia cenderung pesannya semua sama saja. Partai pun tak memiliki differensiasi. Ini yang justru membingungkan masyarakat,” ujar dosen ITB ini.

Para figur dan partai politik di televisi pun cenderung untuk mementingkan komunikasi politik untuk persaingan. Justru mereka lupa dengan pendidikan politik. “Semua tokoh hanya mementingkan persaingan politik, tidak memberikan pendidikan politik apa-apa di televisi,” terang Yasraf.

Menurut Yasraf, ditengah dilema dunia televisi seharusnya dunia televisi di Indonesia menghadirkan segmentasi dan differensiasi. Pemerintah perlu membuat regulasi untuk itu. Televisi di Indonesia dewasa ini masih membingungkan segmentasinya. Di satu sisi televisi ingin menyajikan konten serius macam berita, sementara di sisi lain menyajikan hiburan terlalu banyak. Karena televisi terlalu kapitalis untuk mengambil semua ceruk yang ada. Sehingga pesan komunikasi politik justru menjadi membingungkan bagi masyarakat.

Maka tak aneh jika kemudian televisi di Indonesia kebanyakan lebih bersifat pragmatis dalam konteks menayangkan program politik. Rating dan sponsor menjadi sesuatu yang dikejar. Menurut Pakar Komunikasi dari Universitas Islam Bandung, Septiawan Santana Kurnia, hal ini diakibatkan dari masih adanya ketidakjujuran di dunia televisi. Bumbu-bumbu komersial dan kepentingan politik masih menjangkiti dunia televisi di Indonesia.

“Televisi di Indonesia masih belum jujur karena masih bimbang antara idealisme dengan komersil. Selain itu banyak para pemilik televisi yang terjun ke dunia politik sehingga mempengaruhi substansi dari televisi tersebut,” papar Septiawan.
Namun di tengah pesimisme, ada harapan menjulang. Menurut Septiawan, kinerja televisi menayangkan sajian politik sudah cukup baik. Karena sudah mulai memberikan harapan akan wacana politik yang dikembangkan pelan-pelan.

“Demokrasi di Indonesia boleh dibilang baru setelah era orde baru. Demokrasi di Indonesia butuh proses dan memakan waktu,” ujar Septiawan.

0 komentar:

Post a Comment