Jurnalisme Gonzo: Dalam Bingkai Jurnalisme Sastra dan Budaya


Abstrak:
Tom Wolfe, wartawan-cum-novelis, pada tahun 1960-an memperkenalkan genre jurnalistik bernama “new journalism” (jurnalisme baru). Pada tahun 1973, Wolfe dan EW Johnson menerbitkan buku antologi berjudul The New Journalism berisi narasi-narasi terkemuka dari generasi penulis macam Joan Didion, Truman Capote, Jimmy Breslin, dan Hunter S. Thompson. Jurnalisme sastra adalah satu dari setidaknya tiga nama buat genre jurnalistik yang berkembang di Amerika Serikat di mana reportase dikerjakan dengan mendalam, penulisan dilakukan dengan gaya sastrawi, sehingga hasilnya enak dibaca. Genre ini berbeda dari reportase sehari-hari karena dalam bertutur ia menggunakan adegan demi adegan (scene by scene construction), reportase yang menyeluruh (immersion reporting), menggunakan sudut pandang orang ketiga (third person point of view), serta penuh dengan detail. Jurnalisme bergaya seperti ini pun mulai menarik banyak perhatian pembaca. Apalagi soal kecepatan, jurnalisme tradisionil dianggap terengah-engah menghadapi kecepatan televisi dan radio yang begitu jumawa menampilkan informasi. Sejumlah pemikir jurnalistik pun hadir dengan mengetengahkan gaya penulisan bak novel, naratif, enak dibaca, mendalam, dan memikat. Hunter S. Thompson adalah salah satu dari pemikir jurnalistik yang termasuk ke dalam gelombang pertama para jurnalis bergaya sastra, selain Tom Wolfe dan Gay Talese. Jurnalisme sastra pun tak hadir sendiri. Perkembangannya kemudian memunculkan wacana-wacana baru seputar jurnalisme sastra itu sendiri. Yang paling dikenal mungkin kemunculannya jurnalisme gonzo yang dipelopori oleh Hunter S. Thompson. Gaya bercerita naratif bak novel dengan pembangunan karakter dan plot masih menjadi senjata utama dan subjektif dengan kata ganti orang pertama menghiasi tulisan-tulisannya. Juga erat kaitannya dengan budaya-budaya tahun 60-an yang erat kaitannya dengan semangat anti-kemapanan, budaya perlawanan, gerakan perdamaian, dan kebiasaan narkoba. Bisa dikatakan jurnalisme gonzo merupakan sub-genre dari jurnalisme sastra.

Latar Belakang

Di Amerika, jurnalisme baru lahir dan berkembang sepanjang dekade 1960-an. Pada sekitar era inilah kemudian berkembang yang namanya jurnalisme baru atau new journalism yang dirintis oleh Tom Wolfe, seorang wartawan cum penulis cum doktor American Studies dari Yale University. New Journalism merupakan sebuah sebuah buku antologi. Tom Wolfe dan EW Johnson menjadi editor. Mereka memasukkan narasi-narasi terkemuka zaman itu antara lain Truman Capote, Joan Didion, Jimmy Breslin, dan Hunter S. Thompson, yang kemudian mengembangkan genre jurnalisme sastra atau new journalism ini menjadi gonzo journalism yang menjadi titik fokus dari penulisan makalah ini.


Para perintis jurnalisme baru memprotes jurnalis senior yang memimpin media tapi enggan beranjak dari ruang redaktur eksekutif. Mereka enggan melakukan inovasi dalam penyajian realitas-peristiwa-berita yang menampilkan persoalan kemanusiaan secara utuh. Akibatnya, para jurnalis baru merasa terbelenggu oleh metode pelaporan news story yang telah tumpul, tidak relevan lagi, bahkan sesat dan meremehkan fakta-fakta yang terjadi di masyarakat di tengah arus kehidupan perkotaan dan gemuruh mesin industri. Berbagai peristiwa perlu dilaporkan tanpa sekat-sekat waktu deadlines dan kolom-kolom headlines dari teknik penulisan matter of fact news atau straight news yang dianggap sakral. Gaya pelaporan jurnalisme lama oleh para perintis jurnalisme baru dinilai mempunyai banyak kemungkinan bias, cacat, bahkan bodoh dalam memetakan view of the world.

Usaha pembaruan itu akhirnya membuahkan hasil. Penolakan jurnalis baru terhadap kinerja jurnalisme lama menghasilkan bentuk-bentuk pengembangan jurnalisme dan banyak kegiatan lain. Menurut kalangan akademisi Amerika, secara umum eksplorasi hasil kerja para jurnalis baru itu dapat didefinisikan dalam empat bentuk pengembangan, yaitu: 1) menggambarkan kegiatan jurnalistik yang bertujuan menciptakan opini publik dengan penekanan pada obyektivitas pers demi bekerjanya fungsi “watchdog” (“penjaga moral”) dari the fourth estate press atau kekuatan keempat setelah trias politica, 2) memetakan upaya jurnalisme yang mengkhususkan target pembacanya dengan model penerbitan jurnal-jurnal kecil yang memuat materi khusus berdasarkan profesi atau kebutuhan tertentu sekelompok masyarakat, 3) menggunakan metode ilmiah dalam teknik reportase dan mengadopsi langkah-langkah penelitian yang disyaratkan oleh dunia akademis ke dalam teknik pencarian berita, dan, 4) membuat sajian berita yang sejenis dengan kreasi sastra; secara kreatif menjiplak nilai, norma, dan kaidah penulisan sastra serta mengemasnya menjadi gaya baru dalam penulisan fiksi.

Berdasarkan keempat pengembangan tersebut, secara konsep, bentuk-bentuk jurnalisme kemudian didefinisikan dalam banyak pengertian.

Fedler, sebagai komunikolog, mencatat fenomena itu. Berdasarkan pengamatannya terhadap perkembangan itu, ia membagi jurnalisme baru dalam empat pengertian yaitu:
1. Advocacy journalism
2. Alternative journalism
3. Precision journalism
4. Literary journalism

Jurnalisme sastra atau dalam Bahasa Inggris, literary journalism menghadirkan kebaruan yang otentik terhadap kaidah jurnalistik. Ketika kebaruan hendak ditancapkan oleh para jurnalis, sastra dipilih sebagai bentuk awal penolakan mereka terhadap jurnalisme lama. Semua itu bermula dari keinginan untuk menulis hasil reportase dengan gaya yang menyimpang dari kebiasaan. Bentuk dan gaya sastra yang digunakan membuat laporan menjadi janggal. Kejanggalannya terindikasi dalam pelaporan fakta yang didramatisir sedemikain rupa, yang tidak lagi disusun secara kronologis.

Para pelopor jurnalisme baru ini menyajikan tulisan yang lebih menarik. Apalagi ditambah dengan gempuran media televisi dan radio membuat media cetak kalah dalam hal kecepatan menyiarkan berita. Para jurnalis pun kemudian mencoba mengakalinya dengan membuat tulisan-tulisan yang lebih menarik dan mendalam. Tak sebatas di permukaan. Teknik pelaporan dipenuhi dengan gaya penyajian fiksi yang memberikan detail-detail potret subyek, yang secara sengaja diserahkan kepada pembaca untuk dipikirkan, digambarkan dan ditarik kesimpulannya. Pembaca disuruh mengimajikan tampakan fakta-fakta yang telah dirancang jurnalis dalam urutan adegan, percakapan, dan amatan suasana.

Berbicara soal sejarah, perkembangan jurnalisme sastra memang memiliki sejarah yang panjang. Terutama berkaitan dengan kontekstual sejarah panjang dunia sastra di Amerika itu sendiri. Daniel Defoe, menulis setelah tahun 1700, adalah salah satu ahli sejarah pendukungnya. Daftar tersebut termasuk Mark Twain di abad 19 dan Stephen Crane di awal abad 20. Sebelum dan sesudah Perang Dunia II, James Agee, Ernest Hemingway, A.J. Liebling, Joseph Mitchell, Lillian Ross, dan John Steinbeck bereksperimen dengan bentuk-bentuk esai naratif dalam tulisan-tulisan mereka. Para pelopor jurnalisme sastra macam Norman mailer, Truman Capote, Tom Wolfe, dan Joan Didion mengikutinya, dan entah bagaimana, genre itu pun muncul dengan sendirinya. Kemudian para penulis itu mulai mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian dari suatu gerakan yang kemudian menjadi konvensi dan menarik para penulis.

Artikel-artikel narasi ala jurnalisme sastra pun membanjiri beberapa majalah di Amerika dan mulai mendekonstruksi rupa jurnalisme dan bacaan macam The New Yorker, New York Magazine, The Atlantic Monthly, Rolling Stone, Esquire Magazine, CoEvolution Quarterly, Scanlan’s Monthly, dan sebagainya.

Gay Talese (1970) mengatakan, meski seperti fiksi, jurnalisme ini bukanlah fiksi. Pengaruh fiksi memang sangat kental dalam laporan jurnalis yang dijalinkan di sela-sela teks-fakta. Menurut Tom Wolfe, “sebuah bacaan yang amat langsung dengan realitas yang terasa konkret, serta melibatkan emosi dan mutu penulisnya.” Istilah jurnalisme sastra yang kemudian menyebar dari new journalism yang diperkenalkan Tom Wolfe, menurut Mark Kramer, berkembang di pertengahan tahun 1960-an yang penuh pemberontakan.

Perkembangan jurnalisme sastra pun erat kaitannya dengan isu budaya pemberontakan atau perlawanan yang sedang terjadi pada era itu. Terutama memasuki tahun-tahun 1960-an. Pergulatan-pergulatan isu seputar sosial, politik, budaya, dan hukum yang telah menjadi kajian bagi jurnalisme terutama perkembangan sub-kultur atau kontra-kultur yang merupakan bagian dari topik-topik yang erat kaitannya dengan penulisan artikel-artikel jurnalisme sastra.

Contohnya, Tom Wolfe pernah menulis artikel berjudul “The Electric Kool-Aid Acid Test” yang menangkap fenomena ketika anak muda Amerika sedang digandrungi kultur psikadelik atau psychedelic movement yang erat kaitannya dengan drugs dan wacana-wacana hippies telah menjadikan satu topik yang selalu diangkat oleh jurnalisme sastra. Terkait pula dengan gerakan hippies dengan pro-peace dan sikap bohemian mereka terutama terhadap movement pro-peace dan anti-war seperti gerakan protes perang Vietnam, menjadi topik-topik penulis jurnalisme sastra seperti pada tulisan “Grooving In Chi” yang ditulis Terry Southern merekam Konvensi Demokrasi Nasional di Chicago pada tahun 1968 di Majalah Esquire.

Jurnalisme sastra pun tak hadir sendiri. Perkembangannya kemudian memunculkan wacana-wacana baru seputar jurnalisme sastra itu sendiri. Yang paling dikenal mungkin kemunculannya jurnalisme gonzo yang dipelopori oleh Hunter S. Thompson. Gaya bercerita naratif bak novel dengan pembangunan karakter dan plot masih menjadi senjata utama dan subjektif dengan kata ganti orang pertama menghiasi tulisan-tulisannya. Juga erat kaitannya dengan budaya-budaya tahun 60-an yang erat kaitannya dengan semangat anti-kemapanan, budaya perlawanan, gerakan perdamaian, dan kebiasaan narkoba.

Thompson dan juga bersama para pelopor gerakan jurnalistik baru telah membuat menulis terlihat menyenangkan dan mengasyikkan.

Jurnalisme Gonzo: Kemunculan dan Perkembangannya di Jurnalisme Sastra

Pada akhir tahun 1960-an, seorang jurnalis muda dan freelance novelis bernama Hunter S. Thompson telah mendefisinikan wacana baru seputar reportase dan penulisan berita di Amerika. Hunter S. Thompson merupakan salah satu dari para pelopor jurnalisme sastra lainnya yang berkembang pada pertengahan tahun 1960-an macam Truman Capote, Joan Didion, Jimmy Breslin, Norman Mailer, Robert Christgau.

Hunter Stockton Thompson lahir di Louisseville, Kentucky pada 18 Juli 1937. Ayahnya, Jack Thompson adalah seorang salesman asuransi sementara ibunya, Virginia Thompson, adalah seorang pecandu alkohol. Mungkin saja berdasarkan latar belakang kehidupannya itu mengapa Thompson sangat terobsesi terhadap drugs dan alkohol. Thompson kecil mengalami masa remaja yang cukup sulit. Ayahnya meninggal ketika ia masih kecil dan ibunya meninggalkan Thompson dan saudara-saudaranya begitu saja. Ia pernah ditangkap karena mencuri dan menjadi anggota Angkatan Udara Amerika Serikat sebelum kemudian memulai karir jurnalistik di Columbia University, New York.

Karir jurnalistiknya berawal menjadi reporter olahraga di Majalah Sportivo asal Brasil. Thompson juga kemudian menulis untuk beberapa media seperti Time, New York Herald Tribune, National Observer, Nation, Ramparts, Scanlan’s Monthly, Rolling Stone, High Times, San Francisco Examiner, dan beberapa media di Eropa. Dalam tulisan-tulisannya itu Thompson menguraikan bahasa jenaka dan lucu cenderung satir dan sinis dalam menyikapi sesuatu.

Dalam penulisannya, Thompson terinspirasi dari ide William Faulkner yang menyatakan bahwa, “fiksi seringkali lebih baik dibandingkan fakta”. Berdasarkan ide penulisan fiksi dari Faulkner kemudian Thompson menuliskan gaya-gaya reportase berbau fiksi namun berupa fakta dengan bumbu-bumu satir dalam tulisannya. Thompson seringkali menulis tentang penjelajahan narkotika (recreational drugs) dan alkohol sebagai bagian dari subjek-subjek penulisannya. Tak jarang gaya penulisan jurnalisme sastra ala Thompson berbeda dengan para penulis jurnalisme sastra lainnya. Gaya ala Thompson ini ia namakan Gonzo Journalism atau Jurnalisme Gonzo.

Menurut kamus wikipedia, jurnalisme gonzo adalah sebuah gaya dalam jurnalistik yang ditulis secara subjektif, dan seringkali memasukkan reporter sebagai bagian dari cerita lewat narasi kata ganti orang pertama. Gaya ini memadukan fakta dengan gaya penulisan fiksi untuk memberikan pesannya kepada pembaca. Jurnalisme gonzo juga selalu mengarahkan keakuratan dan seringkali memadukan pengalaman dan emosi personal terhadap topik atau even yang diliput. Ini tentu saja bertentangan dengan konsep-konsep penulisan di media massa. Apalagi jurnalisme gonzo sering memakai kutipan, kata-kata atau kalimat-kalimat kasar, humor, membesar-besarkan, dan kadang kata-kata yang tak senonoh sebagai kebiasaan dalam tulisan-tulisannya. Penggunaan jurnalisme gonzo dianggap lebih dipercaya ketimbang menilai objektivitas yang biasa dilakukan oleh media massa.

Hunter S. Thompson sendiri berujar, “jurnalisme gonzo adalah gaya reportase yang berdasarkan ide William Faulkner bahwa fiksi yang baik terlihat lebih nyata dibandingkan jurnalistik itu sendiri- dan setiap jurnalis terbaik mengetahui hal ini. Maksudnya, bukan berarti bahwa fiksi itu lebih baik dibandingkan jurnalistik akan tetapi baik fiksi maupun jurnalistik merupakan kategori-kategori buatan, dan dalam bentuk keduanya, dan sesuai dengan kebaikannya masing-masing, kedua hal itu seolah memiliki makna yang berbeda tapi satu tujuan akhir yang sama” (Carroll, pxx dalam Othitis: 1997)

Istilah Gonzo itu sendiri lahir ketika Thompson menulis reportasenya berjudul “The Kentucky Derby is Decadent and Depraved” untuk majalah olahraga, Scanlan’s Monthly. Sang editor, Bill Cardoso kemudian tertarik dengan gaya Thompson tersebut. Ia menyebut artikel Thompson dengan sebutan “gonzo” yang diambil dari pujiannya terhadap artikel tersebut, "I don't know what the f*** you're doing, but you've changed everything. It's totally gonzo" (Carroll, pxx dalam Othitis: 1997)

Menurut Cardoso, kata “gonzo” merupakan slang bahasa Irlandia-Boston Selatan yang diambil dari percampuran kata Kanada dan Perancis yaitu “gonzeaux” yang dalam Bahasa Inggris berarti “Shinning Path” atau dalam slang Boston setempat diartikan sebagai weird, bizarre. Banyak yang mengklaim bahwa kata ini tak pernah eksis di kamus-kamus, bahkan kamus bahasa Spanyol dan Perancis sekalipun. Banyak juga yang mengartikannya sebagai “gonzagas” yang dalam Bahasa Inggris berarti “to fool”. Sementara menurut Thompson sendiri istilah Gonzo diambil dari lagu hits James Booker berjudul “Gonzo”. Meski banyak kemudian memunculkan spekulasi lainnya tentang di mana kata “gonzo” berawal ada yang mengaitkannya dengan film maupun novel.

Meski kemudian istilah “gonzo” itu sendiri dipopulerkan lewat tulisan Thompson berjudul Fear and Loathing in Las Vegas: A Savage Journey to the Heart of the American Dream yang terbit di Rolling Stone selama dua edisi di tahun 1971. Dalam Fear and Loathing in Las Vegas: A Savage Journey to the Heart of the American Dream, adalah contoh konkret tentang jurnalisme gonzo yang bercerita tentang perjalanan seorang wartawan olahraga, Raoul Duke bersama sang pengacara, Dr. Gonzo meliput tentang balap motor sambil membawa satu koper penuh dengan ether, cocaine, demorol, valium, acid, LSD, dsb.

Ketika akhir tahun 1971, Fear and Loathing mengalami kesuksesan berat dan Thompson pun memiliki kata dan gaya tersendiri dalam menulis jurnalisme sastra. Gonzo ala Thompson ini adalah sebuah bentuk jurnalisme baru dengan liku-liku, tapi ini bukan suatu permasalahan dalam jurnalistik kontemporer gaya Thompson dengan mereka yang menyebutnya sebagai the new journalist (Wolfe: 1977 dalam Hirst: 2994).

Jurnalisme sastra atau jurnalisme baru gaya Tom Wolfe ini dipandang satu dekade lebih tua ketika Thompson mengembangkan gaya seni gonzo dalam tulisan. Gonzo merupakan sebuah versi ekstrim dalam gaya jurnalisme sastra. Gonzo juga bisa dikategorikan sebagai sebuah sub-genre dari jurnalisme sastra. (Hirst:1994)

Dalam jurnalisme gonzo, di sana tidak banyak aturan yang mengikat, seperti yang biasa dialami oleh banyak penulis. Thompson mengembangkan gaya ini secara bervariasi selama bertahun-tahun, meski ia sendiri berkata bahwa jurnalis gonzo yang baik seolah campuran antara jurnalis yang baik, mata seorang fotografer atau seniman, dan kemampuan bak seorang aktor” (Carroll, pxx dalam Othitis: 1997).

Menurut Othitis (1997) nama lain dari jurnalisme gonzo adalah outlaw journalism, new journalism, alternative journalism, dan literary cubism.

Dalam kaitannya dengan jurnalisme sastra, Othitis menyatakan bahwa memang ada kaitan yang sangat menarik antara jurnalisme sastra atau jurnalisme baru dengan jurnalisme gonzo. Jurnalisme gonzo seolah merupakan versi lain dari jurnalisme sastra atau jurnalisme baru. Othitis menyatakan bahwa ada satu perbedaan mendasar antara jurnalisme sastra gaya Tom Wolfe dengan gaya Thompson yaitu: Wolfe seeks to be the fly on the wall, Thompson is literally the fly in the ointment.

Tulisan Thompson berjudul Hell’s Angels merupakan satu-satunya buku yang bisa dikatakan berbau jurnalisme baru, sedangkan sisanya ia mengembangkan gayanya dalam bentuk jurnalisme gonzo. Dalam konteks ini, penulis percaya bahwa objektivitas dalam reportase berita merupakan sebuah mitos, maka mereka berusaha untuk menulis sesuatu berdasarkan apa yang mereka amati.

Seperti yang dikatakan oleh Thompson sendiri dalam wawancaranya dengan jurnal online The Atlantic, “saya merasa tidak puas dengan pandangan jurnalistik lama di mana kita hanya mengedepankan objektivitas seolah-olah ‘cuma meliput dan kemudian menulis opini yang berimbang’. Jurnalisme yang objektif merupakan alasan terkuat kenapa politik Amerika begitu kotor dan korup. Tentu saja, kita tidak bisa objektif dalam menilai Nixon.” Nixon yang dimaksud adalah Richard Nixon, Presiden Amerika yang terjegal skandal Watergate.

Karena berdasarkan reportase lapangan dan pengamatan langsung maka jurnalisme bergaya ini seolah-olah bersifat nyata. Satu dari keunikannya yang lain yaitu seolah terlihat tak berdaya. Dia menggunakan kalimat yang panjang dan kompleks untuk menimbulkan kepekaan dan menggunakan bidang dan perbendaharaan kata yang agresif. Sang kawan, yang juga jurnalis sastra, P.J. O’Rourke mengatakan bahwa Thompson lebih seperti seorang penyair dibandingkan dengan seorang jurnalis (Othitis: 1997).

Thompson seperti yang dikutip dalam AspenOnline mengatakan bahwa ia adalah seorang pengamat yang baik. Dia adalah seorang peneliti, yang bisa mengungkapkan secara detail yang mungkin saja hilang dari perhatian banyak orang, untuk kemudian dituliskannya dalam bentuk dua cara. Pertama yaitu menggambarkannya atau deskripsi. Biasanya ia menulis detail sebuah objek atau orang dalam dua atau tiga kalimat, untuk kemudian coba ia gambarkan sesuai dengan keinginannya. Contohnya, dalam Fear and Loathing In Las Vegas, mobil yang dipakai tak hanya berwarna merah Covertible akan tetapi fireapple red Great Red Shark. Kedua bagaimana kemampuan Thompson dalam menganalisis situasi. Dia dapat mengamati hanya dalam beberapa menit, mengetahui tingkah laku orang-orang dan apa yang bakal terjadi kemudian.

Sementara itu ada tujuh karakteristik utama mengenai jurnalisme gonzo terutama yang terdapat dalam tulisan-tulisan Hunter S. Thompson:
1.Selalu erat berkaitan dengan seks, kekerasan, drugs, olahraga, dan politik
2.Selalu menggunakan kutipan dari orang-orang terkenal ataupun penulis lainnya atau kadang-kadang menggunakan kalimat sendiri sebagai epigraf.
3.Merujuk pada publik figur seperti orang-orang berita (newspeople), aktor, musisi, dan politikus.
4.Cenderung untuk mengalihkan topik dari subjek atau subjek di mana penulis memulai.
5.Menggunakan kata-kata sarkas atau vulgar sebagai humor
6.Cenderung untuk membuat kalimat mengalir seperti sastra dan malah menggunakan kreativitas yang ekstrim dalam penggunaan Bahasa Inggris.
7.Selalu teliti dalam mengamati situasi (Othitis: 1997).

Seperti yang terdapat dalam buku Hell’s Angels chapter 23 di mana di buka dengan kutipan orang terkenal Ma Barker, “Lying! You're all lying against my boys!" atau “And I shall give them the morning star", sebuah kutipan dari King James Bible.
Tokoh-tokoh besar yang senantiasa dikutipnya yaitu Dr. Samuel Johnson, Bonnie Parker, F, Scott Fitzgerald, Horatio Alger, film-film dan lagu-lagu favoritnya. Selain itu, Thompson juga sering menulis di bawah nama yang cukup “aneh” macam Raoul Duke, F.X. Leach, dan Sebastian Owl.


Jurnalisme Gonzo: Kaitannya dengan Budaya

Dalam “Fear and Loathing In Las Vegas” yang menceritakan perjalanan seorang jurnalis dan pengacara untuk meliput sebuah balapan motor sambil membawa sekoper drugs penuh berisi ether, cocaine, demorol, valium, acid, LSD, dsb. Hal itu mencerminkan keadaan sosial dan budaya yang terjadi di Amerika pada pertengahan tahun 1960-an yang sedang menggejala.

Perkembangan jurnalisme sastra dan kemudian jurnalisme gonzo selalu berkaitan dengan apa yang terjadi dengan perubahan budaya anak muda Amerika saat itu. Biasanya reportase-reportase yang tertuang dalam bentuk jurnalisme sastra (maupun gonzo) erat kaitannya dengan sebuah gerakan budaya baru yang terjadi di Amerika saat itu. Kajiannya pun meliputi gerakan-gerakan budaya tandingan seperti demonstrasi pro-peace, anti-war, drugs, dan musik. Terutama ketika pada era itu anak muda Amerika sedang jengah dengan kebijakan perang Vietnam. Kemudian pergerakan sub-kultur macam Hippies dan musik psikadelik sedang menggejala. Tema-tema seperti ini yang hilang dari kajian pers mainstream tradisionil.

Bahkan seorang jurnalis gonzo selalu menyeburkan diri kedalam tema objek tulisannya tersebut secara langsung. Thompson selalu terlibat secara langsung dengan tema-tema yang bakal ditulisnya. Ia tak hanya menjadi seorang jurnalis akan tetapi menceburkan diri untuk mengobservasi langsung menjadi seorang peneliti atau pengamat. Seperti pada artikel Hell’s Angels di mana ia bergabung langsung dengan para pengendara motor besar tersebut sebelum kemudian ketahuan bahwa ia seorang jurnalis dan dipukuli habis-habisan. Ia tahu bahwa tema-tema seperti drugs, seks, kekerasan, dan olahraga merupakan obsesi warga Amerika, jadi Thompson tak hanya menulis soal dirinya sendiri tapi seolah merepresentasikan keinginan populasi warga Amerika saat itu.

Apa yang dilakukan oleh Thompson dan para pelopor jurnalisme sastra sebenarnya hanya ingin merekonstruksi jurnalistik yang ada saat itu. Gerakan-gerakan budaya perlawanan yang kental seperti yang diungkapkan oleh Mark Kramer pada era itu telah memberikan wacana baru terhadap jurnalisme yang berkembang hingga saat itu. Apalagi tendensi politik dan kebijakan media saat itu begitu kental, belum lagi tekanan teknologi informasi yang di bawa oleh radio dan televisi seolah berlomba untuk memperebutkan kue informasi.

Thompson merasa memiliki kekuatan dan energi untuk merubah sesuatu terutama untuk mengoreksi reportase yang ada di media mapan (Johnson, hal. 131 dalam Othitis). Terutama soal sikap netral terhadap politik sehingga membuat para jurnalis bisa mengkritisi siapapun yang berkuasa.

Jurnalisme gonzo bisa dikatakan mewakili kebebasan pers. Seperti banyak yang orang tahu dan duga bahwa politisi dan media tidak selalu bisa dipercaya begitu saja. Politisi yang membuat pernyataan dengan sejumlah microphone dan tape recorder dalam wajah mereka. Sementara media mesti menyunting berita sedemikian rupa untuk membuat antara berita yang satu dengan yang lainnya tanpa membutuhkan banyak ruang dan waktu. Objektivitas pun selalu menjadi mitos besar dalam pelaporan berita.

Di tangan jurnalis yang tepat, jurnalisme gonzo bisa menjadi nilai tambah bagi media yang ingin menampilkan pandangan terhadap suatu masalah secara humor dan blak-blakan. Hunter Thompson selalu menampilkan pandangan terhadap sesuatu apa adanya, apa yang seharusnya terjadi dan tidak terjadi. Tulisan-tulisan non-fiksinya membuat pembaca mempercayai kebenaran yang berbeda terhadap suatu permasalahan, yang tak bisa didapatkan di media berita nasional “umumnya”. Opininya begitu kuat dan gaya penulisan sastranya lebih kuat sehingga mudah diingat dan memiliki dampak kesan terhadap politik jurnalisme. Gonzo itu sendiri seperti sebuah sejarah, dibuat diantara kebenaran dan kebohongan, antara konsistensi dan inkonsistensi penulisan. Kadang muncul dari persepsi dan personal baik antara penulis maupun pembaca.
***

Daftar Rujukan:

Buku:
Kurnia, Septiawan Santana.2002. Jurnalisme Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Pantau. 2008. Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia

Jurnal, Makalah, dan Essay:
Hirst, Dr. Martin. 1994. What is Gonzo? The etymology of an urban legend.
Othitis, Christine. 1997. The Beginnings and Concepts of Gonzo Journalism.

Internet:
www.wikipedia.org (akses pada 20 Januari 2009)
search: jurnalisme gonzo, gonzo journalism, new journalism, Hunter S. Thompson

3 komentar:

Anonymous said...

great article! bravo...

Anonymous said...

artikel berbobot..

pauleymacera said...

Slots City - Casino, Bally's, PA - Mapyro
Casino, Bally's, PA. 176320 S. 3415 W. 176320 S. 3415 W. 176320 S. 3415 W. 176320 S. 3415 W. 176320 진주 출장샵 S. 3415 이천 출장안마 W. 176320 S. 3415 W. 166320 S. 3415 W. 영주 출장안마 176320 S. 3415 W. 광명 출장샵 176320 S. 오산 출장안마

Post a Comment