Karakteristik Band Indo

Seperti apa karakter band-band lokal dalam menghadapi industri musik Indonesia? Sebenarnya pertanyaan ini menjadi garis besar kita dalam menguak apa yang terjadi dengan Industri musik Indonesia. Beberapa dari kita mungkin sepakat bahwa band-band mainstream sekarang sudah terlalu membosankan. Tentunya kita kangen dengan breakthrough yang dilakukan beberapa band indie beberapa tahun kebelakang ketika Koil dan Mocca memborbardir dunia musik kita waktu itu. Mungkin salah satu indikasinya yaitu tampilnya Koil di salah satu ajang bergengsi MTV. Dan saya ingat penampilan Koil di televisi waktu itu dengan mengundang para penari striptease dalam live shownya. Penampilan mereka itu seolah menampar wajah industri musik Indonesia. Ternyata banyak band-band keren diluar dominasi pop Indonesia. Apalagi dengan hasil yang diraih Mocca ketika memenangkan penghargaan videoklip terbaik di ajang MTV tersebut. Tak hanya masalah prestise, klip-klip mereka pun diputar dan “meracuni” masyarakat Indonesia tentang sebuah wacana musik yang beragam. Dan itu beberapa tahun yang lalu man…

Sekarang, tentu kita jengah dengan klip-klip yang diputar MTV hanya dari band-band itu saja; Radja, Ungu, Nidji, Ada Band dll. dengan ramuan-ramuan musik pop standar seperti itu saja. Tapi kita kadang selalu menistakan dengan band-band mainstream yang dicap tidak keren. Atau kita selalu berprinsip bahwa segala sesuatu yang berasal dari indie itu keren. Sebenarnya statement itu tidak selalu benar. Banyak band mainstream juga yang keren atau bahkan sebaliknya, banyak juga band indie yang nggak keren (bisa juga sebaliknya lagi). Apa yang kita bicarakan disini? Sebenarnya simple saja: Industri Musik.Apakah industri musik di Indonesia bisa membuat perubahan yang “keren” dalam memproduksi band-band itu sendiri? “Keren” disini dalam artian: “kualitas musik, keragaman musik, attitude dan performance yang bisa dipertanggung jawabkan secara artistik”. Namun berbicara tentang hal tersebut, bagaimana dengan visi dan misi band-band itu sendiri? Apakah semua band memiliki pemikiran ke arah situ?

Bagaimana mengantisipasinya? Itu adalah pertanyaan yang bisa kita kuak dalam “menelanjangi” karakteristik band indonesia. Kita melakukan wawancara secara mendalam dengan berbagai band entah itu berangkat dari band-band yang bernaung di major label atau indie label. Band-band yang saya hubungi merupakan sebagai sampel atau wakil saja dalam mewakili beberapa barikade musik yang berbeda. Pertanggungjawaban yang berbeda serta esensi dan substansi yang berbeda. Ok, here we are…

Band’s Purpose To Be…

Sebenarnya inilah dasar filosofis ketika memulai sebuah band. Cukup sederhana saja sih. Mungkin sama seperti anak SMU ABG yang mulai menyanyikan lagu Blink 182 di studio sambil bercanda-canda. Sebenarnya ketika sudah memulai sebuah band maka disanalah akan memulai apa tujuan ngeband tersebut. Ada yang berniat serius dan nggak serius. Serius disini dalam artian mereka-mereka yang mau serius hidup dari musik. Sedang nggak serius tentu kebalikannya yang menganggap bahwa bermain band itu hanya still fun saja. “Kalo kita tujuannya untuk bisa survive dalam hidup melalui media musik. Karena musik adalah hal yang kita suka, dan kita ingin bisa menghidupi diri sendiri dari hal yang kita suka.” ,” ujar Ucay Rocket Rockers tentang tujuan awalnya ngeband “Kalo sudah bisa menghidupi, toh nanti kita bisa menghidupi yang lain. Uang? Tentu kita butuh, tapi cara mendapatkannya harus halal dan fair aja, se-simple itu kok. Status, ketenaran dll itu mah gimana orang memandang kita aja, yang jelas kita punya kontrol untuk itu,” lanjutnya. Ia berkeinginan untuk bisa hidup total dalam bermusik meski itu nggak gampang. Hal senada pun diutarakan oleh Rekty The S.I.G.I.T., “Uang, status dan apresiasi. Ingin mendapatkan uang setidaknya untuk hidup dan membeli alat dan menambah referensi musik, kalau tidak memungkinkan ya setidaknya ingin berpengaruh,” ujarnya dengan nada yang lebih simple.

Kebalikan dari Ucay dan Rekty, banyak band-band yang merasa bahwa pada awalnya mereka ngeband hanya bermula dari hobi atau jalur ekpresi diri saja. “Ketika hidup menawarkan begitu banyak pilihan untuk berekspresi dan berbudaya, bermusik adalah pilihan kami, jadi tujuan nya untuk merasa hidup. kendaraan kami untuk menikmati hidup,” kata Che, vokalis Cupumanik. “Memuaskan diri sendiri itu nomer satu, yang penting asiiiik...!” lanjut Akbar, pentolan A Stone A.

Justu Jerinx, drummer Superman Is Dead berpikir ia ngeband untuk bisa memulai movement lebih sosial. “At first, alasan ngeband of course buat senang-senang. Another alasan so we can get girls, drink, smoke and gettin tattooed for free. But makin lama kaya’nya kita jadi punya semacam tanggung jawab cos makin banyak orang yang dengerin musik kita,” katanya. “So tujuan nge-band sekarang, selain tetap buat fun, kita punya beberapa agenda yang ingin kita realisasikan. Salah satunya, kita ingin membuka mata hati masyarakat akan indahnya perbedaan. Menghilangkan stigma-stigma cuci otak yang menjadikan manusia cenderung mencintai keseragaman dan menilai orang dari penampilan luar aja. Kebodohan permanen yang mengakibatkan maraknya aksi terorisme di Indonesia. Kemunduran-kemunduran seperti itu yang coba kita lawan sekarang,” lanjutnya.

Meskipun banyak pula band-band yang pada awalnya hanya bertujuan untuk eksistensi belaka. Biasanya band yang mengedepankan kata “seni” selalu bertujuan untuk “seni”. Mereka seolah tidak peduli yang namanya pasar dan komersialitas. Dalam barikade seni, Gemby dari Pemuda Elektrik, sebuah band yang sering mempertunjukkan sebuah frasa performance art dalam setiap penampilannya. “Awalnya--seperti biasa--eksistensi, seperti rindu tepuk tangan dan haus teriakan penonton. Pada perkembangannya, kami ingin memberikan--yang menurut kami--pengaruh terkini dalam konteks pemuda elektrik secara khusus,” ujar Gemby. Hal senada pun diutarakan oleh Ant, vokal dan gitar 70’s Orgasm Club, “Maksud gw sebagai seniman, seneng banget perform, ditonton banyak orang dan gw merasa perlu menyampaikan apa yg ada dikepala gw. Bisa dibilang gw itu messenger, punya pesan buat orang-orang.”

Setelah tujuan ngeband terbentuk. Maka jalur selanjutnya adalah karir bermusik. Pencapaian apa yang ingin dicapai oleh band-band dalam karir bermusiknya? Apakah uang, status, ketenaran atau bla… bla… bla… “Semuanya dong!!! Karena semua saling berkaitan dan meng-siklus. Ketika kita membuat karya, sudah seharusnya kita dapat mempertanggung jawabkan hasilnya, dan kita memang layak mendapatkan hasil dari usaha kita.Saya benci musisi lugu, karena dengan attitude seperti itu musisi lebih cenderung tidak lepas dan kurang ekspresif dalam menyuguhkan karya-karyanya.Tapi saya juga benci musisi yang berlebihan. Ketika seorang musisi menerjunkan diri dalam dunia musik, pada saat itu juga dia harus siap menjadi rockstar. Rockstar yang bertanggung jawab bagi nusa dan bangsa dan kaum miskin J,” ujar Iyo Pure Saturday berapi-api. Hal senada pun diungkapkan oleh Jerinx, “Kalau mau jujur, we want all of the them, I mean, why not? Haha. But since kita harus milih, kita pengin lewat musik kita bisa mengajak orang Indonesia untuk lebih menghargai perbedaan. That is our main agenda this time. Alasannya? Kita pengin ga ada lagi istilah minoritas/mayoritas di Indonesia, no more discrimination and stuff like that. Equal respect. Ga ada daerah yang lebih keren, ga ada music scene yang lebih up to date, ga ada fashion yang lebih dominan. Semua sejajar dan berjalan seiringan. Diversity is a beautiful thing.” Ujarnya menambahkan misi sosial yang lebih menjadi main goal Superman Is Dead dalam pencapaian karir bermusik.

Namun, kadang pencapaian-pencapaian karir seperti itu tidak semudah yang dibayangkan dan diharapkan.Terutama di Indonesia, yang dianggap pencapaian karir bermusik masih harus terbentur dengan industri musik Indonesia yang belum terbuka dengan benar.“Wah ini sebuah pertanyaan yang cukup idealis untuk dijawab, yang pasti mah jangan pernah ngimpi pengen kaya kalo main musik metal di Indonesia!” kata Eben Burgerkill tentang karir yang ingin dicapai dalam bermusik.”Untuk masalah status, ketenaran, dihormati, dan lain sebagainya bakal datang dengan sendirinya setimpal dengan eksistensi dan kualitas karya yang sudah kita buat. Kami di Burgerkill tidak pernah punya target tertentu dalam bermusik, setidaknya selama kita bisa terus eksis berkarya dan diakui keberadaannya sudah menjadi sebuah pencapaian penting dalam karir bermusik. Sukses itu adalah sebuah kesinambungan yang konstan bukan pencapaian akan sesuatu hal yang bersifat sementara,” lanjut Eben. Senada dengan Burgerkill, Seringai pun kadang memiliki masalah dengan yang namanya keterbukaan musik. Ricky, gitaris Seringai yang juga merangkap sebagai editor di Rolling Stone, mengatakan bahwa masyarakat kita memang kekurangan referensi terhadap band-band Indonesia. Dan ia mengakui kadang di suatu event masalah yang paling sering menghinggap pada Seringai adalah musik mereka yang dibilang terlalu keras. “hmm, tantangannya paling sering dibilang ‘terlalu keras’. Musik apa sih ini gedebak gedebuk,” ujar Ricky Seringai yang saya hubungi via messenger. Dan ia punya teori tersendiri tentang apresiaisi msayarakat Indonesia pada sebuah band. “Jadi ada suatu yang agak beda cenderung gak disukain dulu sebelum dikenal.”

Apa yang membuat hal demikian bisa terjadi?

“Masyarakat kita kurang referensi? Yang diiyakan oleh Ricky. Che Cupumanik menambahkan bahwa memang kondisi industri di Indonesia yang membuat karakter-karakter band Indonesia kesulitan. “Jangan berharap banyak dari industri musik Indonesia, apalagi meraih sukses komersil, Apresiasi musik orang Indonesia masih akan jalan di tempat. logika industri musik di Indonesia itu ajaib, coba anda bayangkan !! logika industrinya, barang bagus itu akan dicari konsumen kan? akan laku di pasaran kan ??, tapi tidak di Indonesia, musik bagus dari band bagus malah tidak di hargai secara massal, jangan pernah berharap mendapatkan sukses komersil, teori logika industri di musik Indonesia tidak berlaku, tapi itulah perjuangan-nya. Itu yang seharusnya di perjuangkan kawan,” ujarnya bersemangat.

Pada intinya, selain industri musik indo yang kurang bisa terbuka, tentunya ada beragam masalah lain pula yang sering menghinggap dalam si band. “Money, money, money dan menyatukan isi kepala dalam satu band selalu yang jadi permasalahan,” kata Ant. Hal yang sama pun disebutkan oleh Akbar A Stone A, “akhir bulan ga punya uang, pembagian waktu yang tidak efektif, manajemen yang buruk. selain itu cara pandang hidup, standar lah. ya... kalo kita punya orang tua pejabat kaya yang jago bisnis proyekan sama mark up sih nyantei tinggal minta papah, tapi hari gini masih minta! plis deh. kantong kempes gitu loch,” ujarnya. Kata-kata serupa pun diucapkan oleh Eben Burgerkill.“Masalah yang paling umum ada di setiap band seperti kami yaitu masalah finansial dan masalah internal antar personil. Terkadang kita selalu terbentur dengan kondisi-kondisi dimana kita punya banyak ide dan kesempatan bagus yang terbuang hanya karena adanya keterbatasan dana, contohnya tahun 2000 lalu kita pernah dapet tawaran untuk main di singapura dan malaysia oleh sebuah label indie disana tapi akhirnya kita gagal untuk berangkat cuma karena kita ga punya uang untuk bikin passport” ujarnya.

Terus gimana solusi penyelesaiannya? “Niat. Gimana niat dari awal. Dan duduk bersama membicarakan.adalah solusi permasalahannya.” Lanjut Ant. Kalo disimak dari maksud band- band diatas tentu kita bisa melihat muara permasalahannya. Hola..ho.. mari kita salahkan makhluk kuat bernama uang.

Selain uang, salah satu kesulitan dalam bermusik di Indonesia adalah totalitas. Mengingat bahwa industri musik di Indonesia yang nggak bisa menjamin kesejahteraan bagi si musisi, tentu membuat miris. Banyak musisi yang nggak bisa total bermusik dan lebih memilih mencari pekerjaan sampingan. Karena mereka sadar bahwa sangat sulit untuk mendapatkan uang di musik. “Totalitas juga kayaknya menjadi permasalahan. Kadang masalah dalam band itu suka muncul saat ada personil lain yang sudah bekerja secara formal di tempat lain,” ujar EKMVST, vokalis RNRM. Kini musisi-musisi (terutama yang independen) memilih untuk merangkap pekerjaan dan nggak hanya musisi. Contohnya saja Ant, Ucay, Ricky yang berkecimpung di dunia jurnalistik untuk mencari penghasilan sampingan. Selain itu Elang dan EKMVST bekerja di salah satu distro terkemuka di Bandung. Tentu saja dengan merangkap pekerjaan seperti itu adalah salah satu karakteristik yang sering terjadi di band-band lokal kita. Seperti yang dikatakan pula oleh Akbar A Stone A, “masing-masing bekerja dan berwiraswasta. Para personil band kami berprofesi sebagai graphic designer, kami biasa menyebut nya sebagai buruh visual, dari ladang itulah kami mencari nafkah,” ujarnya.

Jangankan band-band yang berkecimpung di dunia musik independen, musisi yang bernaung di major label pun mesti bekerja sampingan untuk menghidupi diri. Contohnya adalah Superman Is Dead yang bernaung di bawah label Sony BMG. “Haha, terus terang kita ini hidup dari duit konser aja, yang bisa dibilang masih belum bisa menjamin juga. Kalo dari royalti, ya tau sendirilah pembajakan disini. Makanya kita bertiga juga punya kerja sampingan. Bobby kerja di advertising dan clothing, Eka bikin garment plus merchandise buat band-band lokal, saya ngurus Twice Bar, Backyard Tattoo dan kadang-kadang nulis juga di beberapa media lokal,” ujar Jerinx.

Berbeda dengan anggapan beberapa musisi di atas, justru menurut Ricky Seringai seseorang haruslah total dalam karir bermusiknya. “Hidup dari band kan bukan hanya dari royalti, manggung, dan merchandise.Ya usaha sampingan juga… saat ini sampingan gue jadi jurnalis,” kata Ricky menjawab konsentrasinya dalam ngeband di tengah himpitan totalitas dalam bermusik. Tapi ia tetap berusaha total dalam menjalankan segala sesuatu baik itu ngeband maupun saat kerja. “Total. Gue rasa harus total ngapain aja. Jadi penjahat juga harus total ehhee…”

Itulah sedikit gambaran beberapa band lokal kita dalam konsentrasi karir bermusiknya. Terus diantara totalitas ngeband dan kerjaan sampingan maka maka poin penting berikutnya adalah menjaga optimisme dalam meraih karir di dunia musik. Maka seperti apa optimisme karir bermusik untuk bisa menghasilkan materi untuk masa depan?

“Saya tidak pernah berpikir tentang masa depan, tapi saya orang yang sering beruntung dalam hal apapun, jadi kalo bisa dapet duit banyak dari maen musik. Ya itu sih sebagian dari hoki aja, daripada maen musik saya lebih suka maen judi,” ujar Otong Koil soal optimismenya dalam bermain musik bisa menghasilkan materi. “Jujur aja … dengan karakter musik yang gwa jalani … ‘fifty-fifty…’ karena ternyata ,menurut gwa masih banyak PR yang musti dikerjakan… dan selama gwa ngga ngerjain PR-PR itu .. gwa ga akan pernah sukses! Gwa ngga bisa bergantung sama kondisi selera pasar yang ada. Tapi percaya diri dan kepada karya kita sendiri aja, kalau kita konsisten pasti ‘SEMUA ORANG PASTI DAPET GILIRANNYA MASING2’” kata Iyo. Sementara itu Ucay justru menambahkan dengan nada-nada dan aura optimismenya, “Kita ngga mau muluk-muluk, tapi untuk saat ini kita semakin optimis. Terbukti lewat grafik pendapatan dan produktifitas Rocket Rockers dari tahun ’99 sampai sekarang grafiknya naik, bukan turun. Dan itu adalah hal yang positif walaupun tidak terlalu besar dan belum bisa buat beli mobil atau rumah hahah... Tapi kami yakin seiring waktu, kalo kitanya total, rejeki nggak akan kemana. Dan kita mau total. Mungkin itu menjawab” jawab Ucay dengan optimismenya. Hal yang sama pun diuatarakan oleh Akbar A Stone A. “Optimis! walaupun untuk sekarang ini musik sama sekali bukan satu-satunya penghasil materi, dan kami tidak terlalu berharap, ga usah pusing dipikirin,” ujarnya yang lebih cuek dengan kondisi karir bermusiknya.”

Pernyataan Ucay dan Akbar tadi merupakan gambaran optimisme bagi band-band independen dalam meraih karir di industri musik Indonesia dan hal optimisme pun sama dengan Ricky Seringai. Berbeda dengan Ucay Rocket Rockers, Akbar A Stone A dan Ricky Seringai, Jerinx Superman Is Dead justru merasa kurang optimis dengan karir bermusik di Indonesia yang masih begini-begini aja di blantika musik Indonesia. “Dengan bendera punkrock, kita sebenarnya kurang optimis. Apalagi untuk menjadi kaya-raya-makmur-sentosa. Wih, jauh banget,” tegas Jerinx yang juga seorang vegetarian. “Di luar negeri sih mungkin aja. Tapi kita hidup di negara ketiga yang masalahnya masih sangat kompleks. Masyarakatnya cenderung seragam dan selera musiknya juga segitu-gitu aja. Pop. Tapi, ya itu tadi, kita masih bisa hidup dan beli bir dengan elemen-eleman lain dari punkrock sendiri, seperti merchandise, bar, studio rekaman, clothing, studio tattoo, konser dll” sambung Jerinx. Hal sama pun diutarakan juga oleh Yuda Disconnected. “.Kalau saya pribadi melihat keadaan negara seperti ini. Kalau ngomongin masalah duit nggak bisa lepas dengan yang namanya pasar. Nah sedangkan musik seperti kita nggak seperti musik Peter Pan. Kayaknya nggak bisa ngehasilin uang yang optimal. Mungkin lebih ke penghasilan sampingan” katanya.

Okey, setelah kita lihat ternyata ada beberapa elemen yang masing-masing band menggariskan rasa optimisme yang berbeda-beda. Ada yang tidak peduli, ada yang setengah-setengah, ada yang optimis dan ada yang tidak optimis. Macam-macam karakter. Kalau ditelaah lebih lagi. Apa yang menyebabkan variasinya tersebut karena INDUSTRI MUSIK DI KITA YANG MASIH BELUM TERBUKA DAN APRESIATIF BAGI PARA BAND DAN MUSISI. Simple saja. Antisipasi selanjutnya adalah bagaimana membalikkan keadaan tersebut?

Susah mungkin kalo mau merubah selera musik secara dominan… Deal nya. Pertama, mau ikut pasar dengan konsekwensi berkompetisi dengan band- band pasar. Kedua, mau tidak ikut selera pasar maka band kamu akan eksklusif dan segmented. Dan ketiga, berpikir matang, bagaimana bisa mendobrak pasar dengan satu sajian yang segar dan dapat diterima/ ditoleransi oleh intelektual masyarakat,” jawab Iyo Pure Saturday. Ia menganjurkan bahwa-bahwa pilihan-pilihan tersebut sangat segemented dan subjektif. Tentunya dealnya tersebut merupakan pilihan dari tiap band. Kalau bisa dipatok, mungkin ukurannya berkaitan dengan idealisme dalam sebuah band. Iyo sendiri menambahkan bahwa berbicara tentang pasar musik itu sendiri ia membalikkan pada karakter si band tersebut mau dan ingin seperti apa.“Ini berarti bicara tentang pasar. Musisi harus bisa menempatkan diri, untuk siapa musik nya dibuat… untuk kalangan mana? Pada akhirnya musisi harus puas akan respon masyarakat dan karya yang telah dibuatnya. Kalo musik nya susah ya.. wayahna ga diterima. Musisi yang cerdas dapat menempatkan musiknya sesuai intelegensi pendengarnya,” ujar Iyo. Mungkin maksud inteligensi di sini segmen mana yang menjadi wilayah pasar si band tersebut.

Hal senada pun diutarakan oleh Elang Polyester Embassy. “Mungkin pelaku musiknya dulu ya, mereka harus sudah siap menghadapi rintangan. Keberadaan komunitas juga penting. Kontinyuitas siklus pemunculan band-band baru juga harus diperhatikan. Jangan sampe nunggu dulu band-band yang saat ini ada di atas turun pamor, baru keluar band baru. Kalo gitu, nantinya perkembangan musik di Indonesia jadi lambat,” ujarnya. Sementara EKMVST dari RNRM justru lebih menyalahkan keberadaan dari label-label besar Indonesia yang dirasa terlalu oriented. “Buat label-label besar juga sebaiknya lebih berani dan memberikan kesempatan buat band-band baru, juga tidak terlalu banyak membuat batasan-batasan bermusik mereka. Hal ini supaya musik Indonesia lebih beragam,” kata EKMVST. Pernyataan EKMVST pun senada dengan dengan Gemby Pemuda Elektrik. “Dalam konteks industri musik secara umum, kami tidak tahu. Karena kami bingung sendiri dengan pola industri musik yang sedang bergulir yang pada kenyataannya tidak banyak memberikan alternatif. Semuanya tertuju pada pola pikir masyarakat kebanyakan. Di luar itu, kami optimis... karena kami yakin, "pasar" untuk kami pasti selalu ada. it'll never end,” ujarnya.

Market and They Supposed To Be

Pasar. Hola… ho… Berbicara tentang pasar tentu berkaitan dengan uang. Uang=pasar dan pasar=uang. Terus seperti apakah kondisi riil atau materi yang didapat sebagai jaminan masa depan? “Cukup untuk mabuk-mabukan saja, uang dari band hanya cukup buat bayar kru,” ujar Otong Koil perihal kondisi riil secara materi yang didapatnya dari band. Sementara itu Che Cupumanik justru berbeda anggapan dengan Otong Koil. Menurutnya pendapatan yang didapat sudah cukup mesti tidak optimal. “Sejauh ini cukup, dari royalty album dan job manggung. Kami sudah mulai bisa membeli keperluan alat band walaupun belum ideal,” ujarnya.

Sebagai seorang musisi tentu salah satu “jualannya” adalah lagu. Seperti sebuah hukum alam, maka konsumen akan selalu melahap apa yang diberikan produsen. Terus bagaimana kunci si band agar bias eksis dan masih bias hidup secara materiil di industri musik Indonesia. “Yang utama sudah pasti lagu, medium kami kan kaset dan CD, orang ingin membeli karena keunggulan isinya kan? itu yang harus di kerjakan dengan serius, band sukses secara komersil karena mereka memiliki materi lagu yang baik, itu yang paling utama,” jawab Che Cupumanik.

Sementara Eben punya pandangan sendiri perihal band-band di Indonesia. “Band yang bagus yaitu band yang cermat ngembangin skill bermusiknya dengan pengaruh-pengaruh musik yang disukai apapun itu jenisnya, dan sudah tentu juga memiliki output karya yang orisinil. Saat ini banyak sekali band-band yang “kumaha ramena” (Terserah ramenya red.) dan lebih mementingkan serta menonjolkan style berpakaian dengan disertai sensasi-sensasi di atas panggung yang cenderung absurd baik secara omongan atawa performance. Contohnya : mungkin dari sekian banyak band The The-an yang ada disini, hanya beberapa band yang kami rasa musiknya bagus dan berkualitas serta punya roots yang jelas. Sisanya hanya poser-poser dadakan yang cuma bisa dandan, bawa groupies banyak, dan ngoceh hal yang ga jelas diatas panggung untuk sekedar mencari perhatian audience, dan biasanya mereka-mereka itu gampang hilang kemakan waktu. Yah memang setiap band punya hak dan cara sendiri-sendiri untuk nunjukin siapa dirinya, cuma kayaknya janggal aja kok yang butut malah keangkat, eh yang bagus malah ngilang. Yang penting karyanya bo, bukan gayanya plis dong ah …”Kata Eben bersemangat.

Sementara itu Ricky berharap agar band-band sekarang jeli dengan industri musik di Indonesia. “Gue harap sebuah band punya kemampuan lain selain bakat musik. Punya kejelian dalam ngeliat apa langkah terbaik yang bisa dilakukan bandnya di industri musik. Jeli ngelihat industrinya,” tegasnya.

Sip. Terus bagaimana siasat band-band lokal kita dalam melihat pasar mereka? “Kalau produk mereka ada yang meledak, pasti bisa! Tapi kalau seperti Aksara yang punya produk band macam Sore dan lain-lain yang angka penjuanya hanya tiga ribu, lima ribu, saya rasa susah juga jadi gede” kata Jan Juhana, A&R Director Sony BMG Music Indonesia . (Dikutip dari majalah Trax edisi Maret 2006, hal.77).

Sementara itu Wenz Rawk, editor Rolling Stone Indonesia dan manajer The Upstairs punya pemikiran agar band-band Indonesia bisa lebih beragam karena dengan begitu akan membangun sisi industri musiknya agar bisa lebih . “ Ada scene musik yang lebih jujur dalam bermusik. Kalo emang Seringai yakin dengan high octane rock-nya, The Upstairs dengan new wave, The Brandals dengan rock n’ roll-nya, C’mon Lennon dengan indie-rock-nya, lebih variatif kan? Headliner Soundrenaline 2002 sampe 2004, itu masih band yang sama. Ada yang salah dengan ini semua. Kenapa nggak coba pembaruan? Itu mungkin lebih menarik.” (Dikutip dari majalah Trax edisi April 2005).

Yup, karena sudah saatnya sekarang band-band Indonesia untuk bangkit dan menampar keras lagi wajah industri musik Indonesia. Cayo….

***

And They Talk About Music Industry….

70’s Orgasm Club

“Akan tercengang oleh debut album 70sOrgasm Club. Hahaha…”

A Stone A

“Dangdut masih nomer satu”

Burgerkill

“Industri musik di Indonesia mah bakalan sama aja dari tahun ke tahun dan tidak akan pernah berubah. Selama pelaku bisnis di industri ini ga mau ngebuka kesempatan dan wawasan mereka tentang keragaman musik yang ada di Indonesia yah hasilnya bakalan gini terus, setiap tahun bakalan ada Samsons-Samsons dan Radja-Radja yang baru

dengan warna yang hampir sama dengan merk yang berbeda sebagai nama bandnya. Industri musik major di Indonesia ibarat restoran fastfood yang menawarkan

paket2 makanan yang berbeda walaupun sebenarnya isinya sama aja he he he … thanks juga buat interviewnya, dan jangan lupa beli album baru Burgerkill pertengahan

agustus ini ! GOODLUCK GUYS”

Cupumanik

“Jangan berharap banyak dari industri musik Indonesia, apalagi meraih sukses komersil, Apresiasi musik orang indonesia masih akan jalan di tempat. logika industri musik di Indonesia itu ajaib, coba anda bayangkan !! logika industrinya, barang bagus itu akan dicari konsumen kan? akan laku di pasaran kan ??, tapi tidak di Indonesia, musik bagus dari band bagus malah tidak di hargai secara masal, jangan pernah berharap mendapatkan sukses komersil, teori logika industri di musik Indonesia tidak berlaku, tapi itulah perjuangan-nya. Itu yang seharusnya di perjuangkan kawan. salam MAHA RENCANA !!!”

Superman Is Dead

“Secara mainstream ya gak akan ada banyak perubahan. Pop tidak akan pernah bisa terkalahkan. Why? Cos masyarakat kita masih sangat sentralistis dan mencintai keseragaman. Apapun hype yang lagi naik di ibu kota, daerah akan berlomba-lomba untuk terlihat sama. Apapun yang diexpos media/TV, mereka anggap bagus. It’s kinda making me sick. Seolah ada skenario besar kalo trendsetter Indonesia itu harus berasal dari satu kota/tempat aja [jadi inget film Josie and The Pussycats]. Padahal kalo mau digali, Indonesia punya banyak banget trendsetter daerah yang mungkin aja lebih keren dan original. Dan secara cutting-edge industry, sepertinya akan ada band2 baru yang akan menambah referensi/koleksi penikmat musik non-pop di Indonesia. Tapi sayangnya dalam industry cutting-edge pun kadang nafas sentralisasi masih deras terasa. Mungkin karena semua media berasal dari tempat yang sama? Well, hopefully kedepannya bisa lebih seimbang dan gap-gap yang ada bisa kita hancurkan bersama.”

Koil

“Sama aja seperti seblom-seblomnya kok, tidak menarik sama sekali.”

Pemuda Elektrik

“Maju! industri terus maju. entah kenapa ya analogi kami terhadap industri adalah adanya sistem besar yang tak mampu dikalahkan itu loh... selama sistem besar itu tidak campur tangan terhadap sisi fundamental band itu, mudah-mudahan maju. Ah, jangankan sistem besar, sistem kecil pun kelakuannya sama isengnya kaya sistem besar. Jadi harus ke mana kalian band-band dengan personil cakep-cakep plus dandanan sama setiap kali manggung? kalian tuh menjual banget tau ga sih. bahkan sampai dua tahun ke depan!”

Pure Saturday

“Say no to generasi ungu!”

RNRM

“Buat label-label yang bermodal besar jangan hanya menarik band-band yang tampaknya bisa menguntungkan saja. Band-band bagus itu tidak hanya ada di Bandung-Jakarta-Surabaya saja.masih banyak band-band bagus di kota-kota lainnya. Sarannya, janganlah terlalu membatasi band-band indie untuk bisa berkembang.”

Polyester Embassy

“Jangan cepat berpuas diri dan lebih banyak mendekatkan diri pada Tuhan YME.”

Seringai

“Dua tahun kedepan sih kayaknya bakalan gak beda jauh sama sekarang. Label besar kayaknya bakal masih nyari formula band pop muda potensial jutaan kopi kayak Samsons, Nidji dll. Tapi band independen yang punya fanbase signifikan juga bakal terus dilirik. Karena aman buat si major labelnya juga.”

Rocket Rockers

“Sebenernya label besar sekarang sudah berani mengambil band-band yang cutting edge, hanya saja dari segi promosi mereka belum berani jor-joran. Mungkin itu karena faktor rasa kurang percaya juga. Padahal sebuah label kalo udah merekrut band, seharusnya label itu harus berani mempromosikan band-nya setaraf dengan promo artis-artis kesayangan lainnya. Ingat, orang Indonesia itu biasanya meng-iya-kan apa yang ada di media terutama media televisi.”

***
artikel ini telah diterbitkan di Ripple Magazine edisi 46 "Uncool Music Industry Issue" (dengan sedikit edit yang berbeda dengan versi majalahnya)



Formula One Million Copies

"The whole music business in the United States is based on numbers, based on unit sales and not on quality. It's not based on beauty, it's based on hype and it's based on cocaine. It's based on giving presents of large packages of dollars to play records on the air."

----Frank Zappa------

Hola ho… Tampaknya keresahan Frank Zappa pada industri musik sudah memasuki stadium 12. Namun, rasanya keresahan Frank Zappa sama dengan apa yang kita rasakan di industri musik Indonesia saat ini. Frank Zappa berpendapat bahwa mayoritas industri musik masih selalu berorientasi pada nilai-nilai komersilitas dan kuantitas dibandingkan denga estetika kualitas musik itu sendiri. Banyak industri musik yang berorientasi mencari musisi-musisi komersil dengan musik-musik pop menawarkan cinta dan patah hatinya. Masyarakat Indonesia dibuai dengan lirik-lirik jatuh cinta dan mimpi-mimpi tak sampai. Salahkah itu? “Modern music is people who can't think signing artists who can't write songs to make records for people who can't hear." Frank Zappa.Wow… quotes dari Frank Zappa yang semakin pedas bak sambal seribu cabe. Namun, seperti apakah musik-musik yang komersil itu? Ada estetika-estetika seperti apa dalam musik Indonesia sekarang ini? Dan musik seperti apakah yang menjanjikan kesuksesan?

“Mungkin untuk genre musik yang bisa menjanjikan kesuksesan sih yah di Indonesia masih didominasi musik easy listening. Kenapa bisa begitu yah karena orang-orang di daerah masih kurang referensi. Apa yang ditampilkan di TV itu yang mereka sukai” ujar Uki, gitaris Peterpan.

Tampaknya tak ada lagi yang diharapkan oleh para musisi sukses selain menjual album rekamannya terjual satu juta kopi atau bahkan lebih. Meraih beberapa platinum dan semakin sukses terus, terus, dan terus. Apalagi? Dengan begitu uang mengalir bak air deras Cikapundung dan pamor makin terkenal hingga dikejar-kejar infotainment. Selain itu bagaimana mengemas kualitas bermusik, kondusivitas berkreasi, menempatkan pasar dan produser secara proporsional, serta menyeimbangkan antara keinginan untuk mempertahankan ciri khas dengan tuntutan metamorfosis musikalitas, merupakan beberapa kunci agar puncak popularitas bertahan lama. Tak ayal mencari formulasi satu juta kopi adalah keharusan. Rasanya untuk membicarakan satu juta kopi, grup band Peterpan adalah fenomenal tersendiri. Album-album mereka laris bak kacang goreng. Dinyanyikan oleh para pengamen. Untuk itu saya kemudian menghubungi Uki Peterpan untuk menanyakan beberapa hal seputar formulasi sejuta kopi. Hal-hal seperti apa yang biasa dicari oleh industri musik lokal kita. Berbicara tentang industri pasti tidak bisa lepas dengan yang namanya pasar. Selera seperti apa yang cocok untuk pasar masyarakat Indonesia. Dan seperti apa deksripsi industri musik kita dilihat dari sudut musisi. Ini dia…

Image

Tak bisa dilepaskan ketika kita berhadapan dengan yang namanya sebuah band tentu bersingggungan dengan image band. Image band seperti apa yang bagus. Bagus dalam artian di sini adalah bisa menarik perhatian masyarakat. Selera masyarakat masuk tanpa meninggalkan identitas si band itu sendiri. “Yah, image sangat penting bagi sebuah band. Tapi yang lebih penting lagi bahwa image tersebut haruslah memiliki orisinalitas. Image itu sendiri seperti penampilan dan kepribadian (karakter). Yah setiap band harus punya image-image seperti itu,” ujar Uki Peterpan. Ia menambahkan pula kadang citra atau image yang diharapkan haruslah disesuaikan dulu dengan kondisi masyarakat. Uki menganalogiskan bahwa citra/image sebuah band sama dengan selera musik di masyarakat yang selalu berubah-ubah. Image di sini merangkum berbagai komponen seperti nama band, performance, dan karakter kepribadian. “Nama band yang bagus itu yang mudah diingat sama mudah dibaca. Yah, pada intinya bukan nama-nama yang rumit bagi masyarakat kita. Peter Pan sendiri kan dulunya band cafĂ©, maka si nama band itu harus bikin penasaran orang-orang. Selain bisa bikin penasaran tentunya nama band juga haruslah yang simple. Karena itu tadi masyarakat kita malas sama nama-nama yang rumit,” kata Uki membeberkan opininya soal nama band sebagai sebuah paket yang menarik untuk menjual nama.

Bukan bermaksud tendensial, tapi kalau kita jeli ternyata band-band major/mainstream yang berada di blantika musik nasional saat ini memiliki padanan kata khusus di mana nama mereka berarti sebuah kekuasaan. Contohnya, Dewa, Ratu, Radja, Tahta, Tangga, Peterpan dsb! Hahaha… Mungkin itu hanyalah analisis saya terhadap feng-shui sebuah nama. Dan buktinya band-band tersebut sukses dengan gemilang di industri musik lokal. “Sebenarnya nggak terlalu penting juga sih. Nama band itu sebenarnya nggak terlalu menjual. Yah, nama band nggak berpengaruh untuk ukuran sebuah kesuksesan,” lanjut Uki menjawab pertanyaan di sela-sela kesibukannya saat ini. Selain nama, tentunya image merangkum segala hal. “Sebenarnya sih kalau untuk image penampilan kita sih sama akan halnya dengan pakaian sehari-hari seperti image dalam bentuk tampilan dan karakter(kepribadian). Image kita sih tampilnya yah kasual. Nggak ada konsep standarisasi dalam penampilan kita. Mungkin hanya dalam skala aja dibedain. Mungkin skala di sini maksudnya nggak terlalu biasa juga. Haruslah ada eksklusivitasnya. Sedangkan untuk image kepribadian itu sendiri terbentuknya itu emang banyak entah itu image baik (good boy) atau buruk (bad boy) dan lainnya. Untuk Peterpan sendiri image yang ditampilkan yah be your self aja lah. Meski kadang ada juga yang mencap kita itu imagenya jutek dsb. Namun, pada intinya sih yah itu tadi, be your self aja lah.”

Terus bagaimana salah satu cara untuk membentuk image tersebut?

Media. Uki mengaku bahwa blow-up dari media adalah kunci utama untuk membentuk image. “Ada semacam simbiosis mutualisme dengan media. Yah salah satunya untuk mengangkat image atau citra si band yah lewat media seperti majalah, TV, dsb. Sedangkan untuk si medianya juga ada keuntungan dari berita seputar si band tersebut.” Kata Uki. Blow up dalam bentuk gosip infotainment televisi adalah salah satu kuncinya. “Untuk gosip yah. Sebenarnya pada awalnya kita sih nggak diniatkan untuk masuk gosip atau infotainment. Namun, dengan masuknya image kita pada gosip dan infotainment itu bisa mendongkrak popularitas kita juga. Pada dasarnya sih, gosip dan infotainment emang bisa membantu si band. Dengan naiknya popularitas tersebut tentu kita makin dikenal oleh banyak orang di berbagai daerah dan hal itu bisa mendongkrak penjualan album dan image kita,” lanjutnya.

Musik, media, dan kondisi riil masyarakat kita

“Aliran musik nggak berpengaruh pada kesuksesan. Tapi yang lebih penting lagi adalah bagaimana bikin musik yang bagus. Bikin musik yang enak didengar. Buat aku pribadi juga sih nggak begitu penting aliran musik yang sekarang. Hanya saja yang penting menilai musik itu sekarang mana yang bagus dan tidak. Mana yang enak didengar dan tidak,” jawab Uki ketika ditanya seputar pentingnya aliran musik dan pengaruhnya pada kesuksesan. Terus musik seperti apa yang bisa menjual dan sesuai dengan selera masyarakat? Musik seperti apa yang dicari oleh industri musik? Musik seperti apa yang bisa menggelontorkan uang begitu mudah?

“Genre musik yang bisa menjanjiikan kesuksesan di Indonesia masih didominasi musik easy listening,” tegas Uki. Dan ketika ditanya kenapa mayoritas masyarakat kita seperti itu Uki justru membalikkan persoalan pada media kenapa masyarakat Indonesia sedemikian lugunya. “Kenapa bisa begitu yah karena orang-orang di daerah masih kurang referensi. Apa yang ditampilkan di TV itu yang mereka sukai.Waktu aku ke daerah-daerah juga ternyata toko musik di sana lebih banyak menjual rilisan band lokal di banding luar negeri. Beda banget ama di kota, Yah, tingkat intelijensinya juga udah beda. Karena penjualan paling tinggi album kita itu di daerah-daerah. Untuk bagusnya sih balikin lagi ke media. Harus ada media yang bagus dan referensial ekspansi ke daerah-daerah karena Pada intinya sih referensi dari media juga,” lanjut Uki.

Media. Hmmm… ketika ditanya soal media saya kemudian mencari orang yang kompeten untuk menjawab hal ini. Ricky, gitaris Seringai yang juga editor majalah Rolling Stone Indonesia menjawab permasalahan ini. “Masyarakat kita kurang referensi!” tegas Ricky. “Karena pilihan gak banyak. Jadi ada suatu yang agak beda cenderung gak disukain dulu sebelum dikenal,”sambungnya. Begitupula pernyataan dari Wenz rawk, “Sekarang ini Cuma masalah promosi. Bagaimana cara mendikte pasar untuk melakukan propaganda dan marketing plan yang cakep. Pasar di sini bukan pasar yang cerdas. Mereka lebih ikut pada sesuatu yang disetting media” (dikutip dari majalah Trax edisi April 2005). Sementara Ricky memberikan contoh bahwa di luar negeri saja mengapa masyarakat bisa lebih terbuka karena peranan media yang bombastis dan refensial. Masyarakat diberikan referensi-referensi yang bisa menambah pola pikir. Salah satu contohnya adalah majalah Metal Hammer asal Inggris yang jadi referensi bagi para headbangers.

Hal senada pun diucapkan oleh Uki. Ia mengaitkan dengan masalah intelijensi masyarakat kita. “Karena itu tadi, kurang referensi aja masyarakat di Indonesia itu. Terutama yang didaerah-daerah. Di kota besar kan banyak orang beli kasetnya rilisan luar seperti impor CD dan lainnya. Nah di daerah itu hanya lokal saja yang menjadi santapan mereka. Mungkin musik-musik cutting edge/indie music atau nggak umum itu emang sulit dicerna masyarakat kita,” jawab Uki ketika ditanya mengapa musik-musik cutting edge kurang bisa diterima oleh masyarakat kita. Salah satu band cutting edge/ indie music yang memainkan musik metal, Seringai pun pernah mengalami kurangnya keterbukaan dari masyarakat. “Tantangannya paling sering dibilang ‘terlalu keras’. musik apa sih ini gedebak gedebuk hahaha…” ujar Ricky.

Karena masyarakat lebih senang menyantap apa yang ada di televisi, Uki berpendapat bahwa media terutama televisi menjadi pengaruh terbesar bagi masyarakat. “Karena apa yang dilihat di TV atau media menjadi pengaruh besar bagi masyarakat,” ujarnya. Yang menjadi permasalahan berikutnya adalah, apakah masyarakat mempunyai kemauan sendiri untuk memilih musik apa yang mereka sukai atau cenderung menerima apa yang telah disajikan oleh industri musik? “Mungkin itu sih tergantung dari apresiasi masyarakatnya juga. Dan biasanya kecenderungan masyarakat kita menyantap apa yang ada di media seperti TV. Dan itu biasanya di daerah-daerah,” sambung Uki. Kenapa kecenderungan seperti itu menurut Uki karena orang-orang di daerah tidak pernah menuntut ini itu. Kritisnya beda dengan orang kota yang lebih cenderung peka dan kritis terhadap segala sesuatu termasuk industri musik. Well, mungkin alasan itu senada pula dengan apa yang dikatakan oleh Christopher Knab dari FourFront Media and Music, “Consumers have musical choice? What musical choice? In or society we choose only from what we are given to choose from, and that choice is determined by 5 major media corporations who control the exposure outlets that consumers depend on for their entertainment." Menurut analisisnya masyarakat cenderung untuk menyantap apa-apa yang diberikan industri musik saja. Biasanya industri musik tersebut merupakan label raksasa, dan oleh Knab dianalogiskan dalam bentuk lima industri musik besar. Dan yang menjadi point pentingnya yaitu ia mempertanyakan relevansi pilihan dari suatu masyarakat.

Seperti apa biasanya apresiasi masyarakat begitu album laku satu juta kopi? “Yah apresiasi masyarakat sekarang jadi lebih banyak. Yah ada perkembangan jauh dibandingkan dengan dulu. Sekarang sih kita banyak dikejar buat berita, gosip, dan masayarakt selalu pengen tahu apapun tentang kita. Apa yang kita lakukan dan sebagainya. Eksposenya jadi makin besar saja. Masyarakat kita jadi pengen tahu lebih,” ujar Uki. Tak bisa disangkal, Uki berpendapat bahwa daerah-daerah adalah lahan potensial bagi band-band major untuk meraup massa. Menurutnya, selain dilihat dari skala penjualan dengan grafik meningkat dan bombastis, salah satu indikasinya juga terlihat dari gelaran show/tour yang selalu membludak. Ratus ribu orang selalu memadati venue di daerah-daerah layaknya semut yang menuju sarang gula dan memiliki aroma manis yang menyengat.

Aroma manis yang menyengat seperti itulah dia lakunya kaset/ rekaman band-band lokal di Indonesia. Selain estetika musik yang ngepop, Uki mengatakan bahwa biasanya lirik merupakan estetika lain yang dicari oleh masyarakat kita. Biasanya liri seperti apa yang dicari masyarakat kita? Tematik-tematik yang tendensial ke arah mana? “Mungkin lirik-lirik yang puitis. Puitis juga bukan sembarang puitis akan tetapi puitis yang ada maknanya. Salah satunya sih lirik cinta. Karena lirik cinta memang menjual,” jawab Uki tentang kegemaran mayoritas lirik yang selalu digemari oleh masyarakat Indonesia. Dan lirik Peterpan itu sendiri mayoritas menceritakan hal apa? Terdengar ada nada sedikit berpikir dalam nada telepon ketika saya tanya itu. Indikasinya adalah banyak repetisi kata “hmmh.. Apa yah” dalam pembicaraan tersebut. Namun, dalam beberapa saat kemudian guliran kata pun mulai terdengar di balik telepon tersebut. “Untuk Peter Pan sendiri sih yang bikin lirik kan si Ariel nah banyak nyeritain diary pribadi dia,” cerita Uki tentang peranan Ariel dalam mayoritas lirik Peterpan. “Lirik Peter Pan sendiri sih mayoritasnya emang cinta. Kenapa cinta, karena selain lirik cinta memang komersil ternyata banyak orang-orang yang beli kaset kita itu di daerah-daerah yang baru pada ABG. Umur segitu kan masih peka pada cinta. Intinya semua orang mengalami rasanya jatuh cinta makanya cinta memang objek komersil yang menarik. Orang Indonesia pada romantis,” tegas Uki.

Nah itu dia. Menurut Uki, salah satu untuk meraup dan meraih simpatik bagi masyarakat Indonesia adalah menulis lirik cinta komersil. Karena seperti yang dikatakannya bahwa mayoritas orang di daerah-daerah adalah pasar dengen segmen anak-anak remaja ABG yang masih peka dengan cinta. Cinta monyet istilahnya mungkin. Dan bila meraih simpatik dari segmen-segmen seperti itu biasanya akan meraih atau meraup simpatik besar dan bergulir. Salah satu caranya yah lewat nonton show dan beli kaset band tersebut.Okey, selain tematik lirik cinta ternyata penulisan bahasa juga berpengaruh dalam pengangkapan persepsi dan imegery bagi masyarakat kita. Biasanya band-band lokal kita entah itu yang bernaung di major label atai indie label mayoritas menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dalam penulisan lirik mereka. Seperti yang dikatakan Rekty The S.I.G.I.T. yang bernaung di bawah label Fast Forward Records, sebuah label independen asal Bandung, “Sebenarnya saya sendiri masih bingung di mana hubungan nasionalisme dengan bahasa? Orang Amerika aja pake bahasa Inggris, orang Brazil aja pake bahasa Portugis. Jadi saya kurang setuju tuh kalau bahasa yang digunakan sebagai lirik menjadi acuan nasionalisme.atau perlu saya pakai bahasa Belanda? Atau bahasa Jepang? Saya sih bahasa apa aja nggak masalah kok. Malah saya ingin menguasai banyak bahasa di dunia. Kalau emang globalisasi terjadi tanpa batas kita pasti akan bertemu dengan orang asing yang hanya menguasai dua bahasa, yaitu bahasa negaranya dan bahasa Inggris. Jadi penting menurut saya bahasa Inggris itu. Gimana kalau kita ketemu sama orang Timbuktu? Mungkin kita juga harus berusaha memahami bahasa mereka. Harusnya bahasa jangan jadi penghalang apa lagi jadi parameter nasionalisme. Yang penting saya masih menggunakan bahasa Indonesia saat bicara dengan ibu saya,” kata Rekty dengan semangat berapi-api membara soal ditanya permasalahan edukasi lirik. Sementara kontra dengan Rekty The S.I.G.I.T., yaitu Che Cupumanik. Band yang bernaung di bawah label Aquarius ini mengatakan, “Banyak band Indonesia yang memakai nama barat, liriknya barat, attitudenya barat, fashion-nya barat, itu tidak 100% salah, sejauh bisa tetap menjaga ke Indonesiaan-nya, seharusnya mereka sadar dari mana mereka berasal. Sayang sekali banyak band Indonesia yang hanya seonggok daging bule dan idiologi bule dalam tubuh orang Indonesia” ujar Che.

Memang kalo dianalisis justru kecenderungan mayoritas band-band papan atas Indonesia senantiasa selalu menggunakan bhasa ibu mereka yaitu bahasa Indonesia dalam padanan penulisan lirik. Apakah hal ini berkaitan dengan intelijensia masyakarat kita juga? Seperti yang disinggung oleh Uki, bahwa mayoritas pasar potensial adalah anak-anak ABG di daerah-daerah. Menurut Uki, intelijensia masyarakat daerah tentu berbeda dengan masyarakat kota. Dan faktor penulisan lirik Indonesia mungkin salah satu caranya yah agar mudah dimengerti oleh mereka. Itu saja. Tanpa ada kesan apapun.

Okey, setelah kita membicarakan image, musik, dan lirik, maka seperti apakah keberlansungan band-band papan atas Indonesia. “Biasanya musisi-musisi papan atas Indonesia setelah berada di blantika musik papan atas Indonesia yang udah kecapai jadi pengen go international,” jawab Uki. Ia mengatakan pula salah satu indikasinya yaitu kemenangan Peterpan dalam ajang MTV Asia Award tahun lalu. Namun, Uki menambahkan bahwa band-band papan atas Indonesia untuk bisa go international tak semudah dengan apa yang dibayangkan. Terlepas dari masalah nasionalisme, Uki mengaitkan pula dengan masalah pengaruh musik. “Namun, salah satu kesulitan yang sering menghinggapi para musisi papan atas itu yaitu maslah pengaruh musik saja. Masa kita bermain musik di luar negeri dengan influence-influence dari luar negeri juga. Kan aneh tuh. Bagi mereka mungkin musik seperti ini (influence luar negeri tersebut) udah biasa. Yah, analogisnya sih sama aja dengan orang bule maenin musik tradisionil kita yang udah nggak aneh bagi kita,” jawab Uki.

Berbicara tentang musik tentu tak bisa menghilangkan sebuah idealisme. Saya yakin dari miliaran band yang ada di muka bumi ini tentu memiliki suatu idealisnya masing-masing. Dengan suatu tendensi, idealis seperti referensi sebuah band dalam pola-pola bermusiknya. Begitu pula dengan Peterpan. Uki menceritakan perihal ego dalam konsentrasi bermusik. Salah satu menjaga eksklusivitas dan kondusivitas idealisme bermusik yah lewat influence bermusik tersebut yang telah menjadi patokan awal. Karena banyak orang yang justru menyalahkan bahwa band-band yang sell-out atau laku jutaan kopi adalah band yang tidak memiliki idealisme. Hahaha… pikiran picik seperti itu kadang suka ada di benak seseorang tersebut. “Yah, kadang harus bermain-main dengan ego juga. Untuk ukuran musik sih tergantung sama eksploitasi kita juga. Tergantung influence dalam diri kita juga. Dan itu sangat subyektif,” kata Uki menjawab perihal idealisme dalam bermusiknya.

Kemudian setelah menjadi rangkaian image, musik, lirik, dan idealisme merupakan satu paket utuh dalam bermusik. Dan Uki memprediksi akan seperti apa industri musik Indonesia selama dua tahun ke depan. “Dua tahun ke depan sih banyak label besar yang mencari sponsor untuk menutupi produksi rekaman jikalau si band itu gagal atau jeblok di pasaran. Selain itu membuka management artist juga,” jawab Uki membeberkan rahasia industri musik Indonesia saat ini. Sementara itu, Uki menambahkan pula rahasia industri musik Indonesia dalam mencari sebuah band. Dan band berorientasi sejuta kopi dengan paket image, musik, lirik, dan idealisme nge-pop masih menjadi buruan dan most wanted industri-industri musik besar Indonesia saat ini. “Untuk kondisi riil industri musik Indonesia sih masih tetap melayu, atau pop yang mendominasi. Namun, seperti yang sudah tadi disinggung di atas namun ini semua bisa berubah hanya tergantung dari medianya saja. Karena biasanya musisi-musisi papan atas sih mengincar daerah untuk pasar potensialnya. Karena orang daerah nggak banyak menuntut,” jawab Uki dengan diplomatis.

Orientasi-orientasi seperti itu kayaknya akan menjadi labirin yang terus berputar dari tahun ke tahun. Hal yang senada dengan Uki pun diucapkan oleh Eben Burgerkill, “industri musik di Indonesia mah bakalan sama aja dari tahun ke tahun dan tidak akan pernah berubah. Selama pelaku bisnis di industri ini ga mau ngebuka kesempatan dan wawasan mereka tentang keragaman musik yang ada di Indonesia yah hasilnya bakalan gini terus, setiap tahun bakalan ada Samsons-Samsons dan Radja-Radja yang baru dengan warna yang hampir sama dengan merk yang berbeda sebagai nama bandnya. Industri musik major di Indonesia ibarat restoran fastfood yang menawarkan paket-paket makanan yang berbeda walaupun sebenarnya isinya sama aja,” kata Eben Burgerkill yang bandnya (Burgerkill) pernah bernaung di bawah major label Sony BMG namun kini ia memutuskan keluar dari bandnya tersebut dan memilih kembali ke jalur independen.

Kalau dicermati menurut Eben bahwa “Selama pelaku bisnis di industri ini ga mau ngebuka kesempatan dan wawasan mereka tentang keragaman musik yang ada di Indonesia” merupakan kerja keras kita semua sebagai insan yang berkecimpung di blantika musik Indonesia. Dan wacana untuk mengubah industri musik Indonesia merupakan PR kita bersama. Akankah pola one million copied dengan racikan musik-musik nge-pop dan komersil masih juga kiasan kita dalam menguak wacana. Ini bukan hanya tugas orang label, kritikus, jurnalis, atau orang industri saja akan tetapi masyarakat general juga dalam mengapresiasi musik Indonesia akan lebih kritis. Bukankah kita tidak ingin terus dibuai dengan band-band mayor yang kayak-kayak “gitu” aja kan?

***

artikel ini telah diterbitkan di Ripple Magazine no. 46 "Uncool Music Industry Issue"