Formula One Million Copies

"The whole music business in the United States is based on numbers, based on unit sales and not on quality. It's not based on beauty, it's based on hype and it's based on cocaine. It's based on giving presents of large packages of dollars to play records on the air."

----Frank Zappa------

Hola ho… Tampaknya keresahan Frank Zappa pada industri musik sudah memasuki stadium 12. Namun, rasanya keresahan Frank Zappa sama dengan apa yang kita rasakan di industri musik Indonesia saat ini. Frank Zappa berpendapat bahwa mayoritas industri musik masih selalu berorientasi pada nilai-nilai komersilitas dan kuantitas dibandingkan denga estetika kualitas musik itu sendiri. Banyak industri musik yang berorientasi mencari musisi-musisi komersil dengan musik-musik pop menawarkan cinta dan patah hatinya. Masyarakat Indonesia dibuai dengan lirik-lirik jatuh cinta dan mimpi-mimpi tak sampai. Salahkah itu? “Modern music is people who can't think signing artists who can't write songs to make records for people who can't hear." Frank Zappa.Wow… quotes dari Frank Zappa yang semakin pedas bak sambal seribu cabe. Namun, seperti apakah musik-musik yang komersil itu? Ada estetika-estetika seperti apa dalam musik Indonesia sekarang ini? Dan musik seperti apakah yang menjanjikan kesuksesan?

“Mungkin untuk genre musik yang bisa menjanjikan kesuksesan sih yah di Indonesia masih didominasi musik easy listening. Kenapa bisa begitu yah karena orang-orang di daerah masih kurang referensi. Apa yang ditampilkan di TV itu yang mereka sukai” ujar Uki, gitaris Peterpan.

Tampaknya tak ada lagi yang diharapkan oleh para musisi sukses selain menjual album rekamannya terjual satu juta kopi atau bahkan lebih. Meraih beberapa platinum dan semakin sukses terus, terus, dan terus. Apalagi? Dengan begitu uang mengalir bak air deras Cikapundung dan pamor makin terkenal hingga dikejar-kejar infotainment. Selain itu bagaimana mengemas kualitas bermusik, kondusivitas berkreasi, menempatkan pasar dan produser secara proporsional, serta menyeimbangkan antara keinginan untuk mempertahankan ciri khas dengan tuntutan metamorfosis musikalitas, merupakan beberapa kunci agar puncak popularitas bertahan lama. Tak ayal mencari formulasi satu juta kopi adalah keharusan. Rasanya untuk membicarakan satu juta kopi, grup band Peterpan adalah fenomenal tersendiri. Album-album mereka laris bak kacang goreng. Dinyanyikan oleh para pengamen. Untuk itu saya kemudian menghubungi Uki Peterpan untuk menanyakan beberapa hal seputar formulasi sejuta kopi. Hal-hal seperti apa yang biasa dicari oleh industri musik lokal kita. Berbicara tentang industri pasti tidak bisa lepas dengan yang namanya pasar. Selera seperti apa yang cocok untuk pasar masyarakat Indonesia. Dan seperti apa deksripsi industri musik kita dilihat dari sudut musisi. Ini dia…

Image

Tak bisa dilepaskan ketika kita berhadapan dengan yang namanya sebuah band tentu bersingggungan dengan image band. Image band seperti apa yang bagus. Bagus dalam artian di sini adalah bisa menarik perhatian masyarakat. Selera masyarakat masuk tanpa meninggalkan identitas si band itu sendiri. “Yah, image sangat penting bagi sebuah band. Tapi yang lebih penting lagi bahwa image tersebut haruslah memiliki orisinalitas. Image itu sendiri seperti penampilan dan kepribadian (karakter). Yah setiap band harus punya image-image seperti itu,” ujar Uki Peterpan. Ia menambahkan pula kadang citra atau image yang diharapkan haruslah disesuaikan dulu dengan kondisi masyarakat. Uki menganalogiskan bahwa citra/image sebuah band sama dengan selera musik di masyarakat yang selalu berubah-ubah. Image di sini merangkum berbagai komponen seperti nama band, performance, dan karakter kepribadian. “Nama band yang bagus itu yang mudah diingat sama mudah dibaca. Yah, pada intinya bukan nama-nama yang rumit bagi masyarakat kita. Peter Pan sendiri kan dulunya band cafĂ©, maka si nama band itu harus bikin penasaran orang-orang. Selain bisa bikin penasaran tentunya nama band juga haruslah yang simple. Karena itu tadi masyarakat kita malas sama nama-nama yang rumit,” kata Uki membeberkan opininya soal nama band sebagai sebuah paket yang menarik untuk menjual nama.

Bukan bermaksud tendensial, tapi kalau kita jeli ternyata band-band major/mainstream yang berada di blantika musik nasional saat ini memiliki padanan kata khusus di mana nama mereka berarti sebuah kekuasaan. Contohnya, Dewa, Ratu, Radja, Tahta, Tangga, Peterpan dsb! Hahaha… Mungkin itu hanyalah analisis saya terhadap feng-shui sebuah nama. Dan buktinya band-band tersebut sukses dengan gemilang di industri musik lokal. “Sebenarnya nggak terlalu penting juga sih. Nama band itu sebenarnya nggak terlalu menjual. Yah, nama band nggak berpengaruh untuk ukuran sebuah kesuksesan,” lanjut Uki menjawab pertanyaan di sela-sela kesibukannya saat ini. Selain nama, tentunya image merangkum segala hal. “Sebenarnya sih kalau untuk image penampilan kita sih sama akan halnya dengan pakaian sehari-hari seperti image dalam bentuk tampilan dan karakter(kepribadian). Image kita sih tampilnya yah kasual. Nggak ada konsep standarisasi dalam penampilan kita. Mungkin hanya dalam skala aja dibedain. Mungkin skala di sini maksudnya nggak terlalu biasa juga. Haruslah ada eksklusivitasnya. Sedangkan untuk image kepribadian itu sendiri terbentuknya itu emang banyak entah itu image baik (good boy) atau buruk (bad boy) dan lainnya. Untuk Peterpan sendiri image yang ditampilkan yah be your self aja lah. Meski kadang ada juga yang mencap kita itu imagenya jutek dsb. Namun, pada intinya sih yah itu tadi, be your self aja lah.”

Terus bagaimana salah satu cara untuk membentuk image tersebut?

Media. Uki mengaku bahwa blow-up dari media adalah kunci utama untuk membentuk image. “Ada semacam simbiosis mutualisme dengan media. Yah salah satunya untuk mengangkat image atau citra si band yah lewat media seperti majalah, TV, dsb. Sedangkan untuk si medianya juga ada keuntungan dari berita seputar si band tersebut.” Kata Uki. Blow up dalam bentuk gosip infotainment televisi adalah salah satu kuncinya. “Untuk gosip yah. Sebenarnya pada awalnya kita sih nggak diniatkan untuk masuk gosip atau infotainment. Namun, dengan masuknya image kita pada gosip dan infotainment itu bisa mendongkrak popularitas kita juga. Pada dasarnya sih, gosip dan infotainment emang bisa membantu si band. Dengan naiknya popularitas tersebut tentu kita makin dikenal oleh banyak orang di berbagai daerah dan hal itu bisa mendongkrak penjualan album dan image kita,” lanjutnya.

Musik, media, dan kondisi riil masyarakat kita

“Aliran musik nggak berpengaruh pada kesuksesan. Tapi yang lebih penting lagi adalah bagaimana bikin musik yang bagus. Bikin musik yang enak didengar. Buat aku pribadi juga sih nggak begitu penting aliran musik yang sekarang. Hanya saja yang penting menilai musik itu sekarang mana yang bagus dan tidak. Mana yang enak didengar dan tidak,” jawab Uki ketika ditanya seputar pentingnya aliran musik dan pengaruhnya pada kesuksesan. Terus musik seperti apa yang bisa menjual dan sesuai dengan selera masyarakat? Musik seperti apa yang dicari oleh industri musik? Musik seperti apa yang bisa menggelontorkan uang begitu mudah?

“Genre musik yang bisa menjanjiikan kesuksesan di Indonesia masih didominasi musik easy listening,” tegas Uki. Dan ketika ditanya kenapa mayoritas masyarakat kita seperti itu Uki justru membalikkan persoalan pada media kenapa masyarakat Indonesia sedemikian lugunya. “Kenapa bisa begitu yah karena orang-orang di daerah masih kurang referensi. Apa yang ditampilkan di TV itu yang mereka sukai.Waktu aku ke daerah-daerah juga ternyata toko musik di sana lebih banyak menjual rilisan band lokal di banding luar negeri. Beda banget ama di kota, Yah, tingkat intelijensinya juga udah beda. Karena penjualan paling tinggi album kita itu di daerah-daerah. Untuk bagusnya sih balikin lagi ke media. Harus ada media yang bagus dan referensial ekspansi ke daerah-daerah karena Pada intinya sih referensi dari media juga,” lanjut Uki.

Media. Hmmm… ketika ditanya soal media saya kemudian mencari orang yang kompeten untuk menjawab hal ini. Ricky, gitaris Seringai yang juga editor majalah Rolling Stone Indonesia menjawab permasalahan ini. “Masyarakat kita kurang referensi!” tegas Ricky. “Karena pilihan gak banyak. Jadi ada suatu yang agak beda cenderung gak disukain dulu sebelum dikenal,”sambungnya. Begitupula pernyataan dari Wenz rawk, “Sekarang ini Cuma masalah promosi. Bagaimana cara mendikte pasar untuk melakukan propaganda dan marketing plan yang cakep. Pasar di sini bukan pasar yang cerdas. Mereka lebih ikut pada sesuatu yang disetting media” (dikutip dari majalah Trax edisi April 2005). Sementara Ricky memberikan contoh bahwa di luar negeri saja mengapa masyarakat bisa lebih terbuka karena peranan media yang bombastis dan refensial. Masyarakat diberikan referensi-referensi yang bisa menambah pola pikir. Salah satu contohnya adalah majalah Metal Hammer asal Inggris yang jadi referensi bagi para headbangers.

Hal senada pun diucapkan oleh Uki. Ia mengaitkan dengan masalah intelijensi masyarakat kita. “Karena itu tadi, kurang referensi aja masyarakat di Indonesia itu. Terutama yang didaerah-daerah. Di kota besar kan banyak orang beli kasetnya rilisan luar seperti impor CD dan lainnya. Nah di daerah itu hanya lokal saja yang menjadi santapan mereka. Mungkin musik-musik cutting edge/indie music atau nggak umum itu emang sulit dicerna masyarakat kita,” jawab Uki ketika ditanya mengapa musik-musik cutting edge kurang bisa diterima oleh masyarakat kita. Salah satu band cutting edge/ indie music yang memainkan musik metal, Seringai pun pernah mengalami kurangnya keterbukaan dari masyarakat. “Tantangannya paling sering dibilang ‘terlalu keras’. musik apa sih ini gedebak gedebuk hahaha…” ujar Ricky.

Karena masyarakat lebih senang menyantap apa yang ada di televisi, Uki berpendapat bahwa media terutama televisi menjadi pengaruh terbesar bagi masyarakat. “Karena apa yang dilihat di TV atau media menjadi pengaruh besar bagi masyarakat,” ujarnya. Yang menjadi permasalahan berikutnya adalah, apakah masyarakat mempunyai kemauan sendiri untuk memilih musik apa yang mereka sukai atau cenderung menerima apa yang telah disajikan oleh industri musik? “Mungkin itu sih tergantung dari apresiasi masyarakatnya juga. Dan biasanya kecenderungan masyarakat kita menyantap apa yang ada di media seperti TV. Dan itu biasanya di daerah-daerah,” sambung Uki. Kenapa kecenderungan seperti itu menurut Uki karena orang-orang di daerah tidak pernah menuntut ini itu. Kritisnya beda dengan orang kota yang lebih cenderung peka dan kritis terhadap segala sesuatu termasuk industri musik. Well, mungkin alasan itu senada pula dengan apa yang dikatakan oleh Christopher Knab dari FourFront Media and Music, “Consumers have musical choice? What musical choice? In or society we choose only from what we are given to choose from, and that choice is determined by 5 major media corporations who control the exposure outlets that consumers depend on for their entertainment." Menurut analisisnya masyarakat cenderung untuk menyantap apa-apa yang diberikan industri musik saja. Biasanya industri musik tersebut merupakan label raksasa, dan oleh Knab dianalogiskan dalam bentuk lima industri musik besar. Dan yang menjadi point pentingnya yaitu ia mempertanyakan relevansi pilihan dari suatu masyarakat.

Seperti apa biasanya apresiasi masyarakat begitu album laku satu juta kopi? “Yah apresiasi masyarakat sekarang jadi lebih banyak. Yah ada perkembangan jauh dibandingkan dengan dulu. Sekarang sih kita banyak dikejar buat berita, gosip, dan masayarakt selalu pengen tahu apapun tentang kita. Apa yang kita lakukan dan sebagainya. Eksposenya jadi makin besar saja. Masyarakat kita jadi pengen tahu lebih,” ujar Uki. Tak bisa disangkal, Uki berpendapat bahwa daerah-daerah adalah lahan potensial bagi band-band major untuk meraup massa. Menurutnya, selain dilihat dari skala penjualan dengan grafik meningkat dan bombastis, salah satu indikasinya juga terlihat dari gelaran show/tour yang selalu membludak. Ratus ribu orang selalu memadati venue di daerah-daerah layaknya semut yang menuju sarang gula dan memiliki aroma manis yang menyengat.

Aroma manis yang menyengat seperti itulah dia lakunya kaset/ rekaman band-band lokal di Indonesia. Selain estetika musik yang ngepop, Uki mengatakan bahwa biasanya lirik merupakan estetika lain yang dicari oleh masyarakat kita. Biasanya liri seperti apa yang dicari masyarakat kita? Tematik-tematik yang tendensial ke arah mana? “Mungkin lirik-lirik yang puitis. Puitis juga bukan sembarang puitis akan tetapi puitis yang ada maknanya. Salah satunya sih lirik cinta. Karena lirik cinta memang menjual,” jawab Uki tentang kegemaran mayoritas lirik yang selalu digemari oleh masyarakat Indonesia. Dan lirik Peterpan itu sendiri mayoritas menceritakan hal apa? Terdengar ada nada sedikit berpikir dalam nada telepon ketika saya tanya itu. Indikasinya adalah banyak repetisi kata “hmmh.. Apa yah” dalam pembicaraan tersebut. Namun, dalam beberapa saat kemudian guliran kata pun mulai terdengar di balik telepon tersebut. “Untuk Peter Pan sendiri sih yang bikin lirik kan si Ariel nah banyak nyeritain diary pribadi dia,” cerita Uki tentang peranan Ariel dalam mayoritas lirik Peterpan. “Lirik Peter Pan sendiri sih mayoritasnya emang cinta. Kenapa cinta, karena selain lirik cinta memang komersil ternyata banyak orang-orang yang beli kaset kita itu di daerah-daerah yang baru pada ABG. Umur segitu kan masih peka pada cinta. Intinya semua orang mengalami rasanya jatuh cinta makanya cinta memang objek komersil yang menarik. Orang Indonesia pada romantis,” tegas Uki.

Nah itu dia. Menurut Uki, salah satu untuk meraup dan meraih simpatik bagi masyarakat Indonesia adalah menulis lirik cinta komersil. Karena seperti yang dikatakannya bahwa mayoritas orang di daerah-daerah adalah pasar dengen segmen anak-anak remaja ABG yang masih peka dengan cinta. Cinta monyet istilahnya mungkin. Dan bila meraih simpatik dari segmen-segmen seperti itu biasanya akan meraih atau meraup simpatik besar dan bergulir. Salah satu caranya yah lewat nonton show dan beli kaset band tersebut.Okey, selain tematik lirik cinta ternyata penulisan bahasa juga berpengaruh dalam pengangkapan persepsi dan imegery bagi masyarakat kita. Biasanya band-band lokal kita entah itu yang bernaung di major label atai indie label mayoritas menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dalam penulisan lirik mereka. Seperti yang dikatakan Rekty The S.I.G.I.T. yang bernaung di bawah label Fast Forward Records, sebuah label independen asal Bandung, “Sebenarnya saya sendiri masih bingung di mana hubungan nasionalisme dengan bahasa? Orang Amerika aja pake bahasa Inggris, orang Brazil aja pake bahasa Portugis. Jadi saya kurang setuju tuh kalau bahasa yang digunakan sebagai lirik menjadi acuan nasionalisme.atau perlu saya pakai bahasa Belanda? Atau bahasa Jepang? Saya sih bahasa apa aja nggak masalah kok. Malah saya ingin menguasai banyak bahasa di dunia. Kalau emang globalisasi terjadi tanpa batas kita pasti akan bertemu dengan orang asing yang hanya menguasai dua bahasa, yaitu bahasa negaranya dan bahasa Inggris. Jadi penting menurut saya bahasa Inggris itu. Gimana kalau kita ketemu sama orang Timbuktu? Mungkin kita juga harus berusaha memahami bahasa mereka. Harusnya bahasa jangan jadi penghalang apa lagi jadi parameter nasionalisme. Yang penting saya masih menggunakan bahasa Indonesia saat bicara dengan ibu saya,” kata Rekty dengan semangat berapi-api membara soal ditanya permasalahan edukasi lirik. Sementara kontra dengan Rekty The S.I.G.I.T., yaitu Che Cupumanik. Band yang bernaung di bawah label Aquarius ini mengatakan, “Banyak band Indonesia yang memakai nama barat, liriknya barat, attitudenya barat, fashion-nya barat, itu tidak 100% salah, sejauh bisa tetap menjaga ke Indonesiaan-nya, seharusnya mereka sadar dari mana mereka berasal. Sayang sekali banyak band Indonesia yang hanya seonggok daging bule dan idiologi bule dalam tubuh orang Indonesia” ujar Che.

Memang kalo dianalisis justru kecenderungan mayoritas band-band papan atas Indonesia senantiasa selalu menggunakan bhasa ibu mereka yaitu bahasa Indonesia dalam padanan penulisan lirik. Apakah hal ini berkaitan dengan intelijensia masyakarat kita juga? Seperti yang disinggung oleh Uki, bahwa mayoritas pasar potensial adalah anak-anak ABG di daerah-daerah. Menurut Uki, intelijensia masyarakat daerah tentu berbeda dengan masyarakat kota. Dan faktor penulisan lirik Indonesia mungkin salah satu caranya yah agar mudah dimengerti oleh mereka. Itu saja. Tanpa ada kesan apapun.

Okey, setelah kita membicarakan image, musik, dan lirik, maka seperti apakah keberlansungan band-band papan atas Indonesia. “Biasanya musisi-musisi papan atas Indonesia setelah berada di blantika musik papan atas Indonesia yang udah kecapai jadi pengen go international,” jawab Uki. Ia mengatakan pula salah satu indikasinya yaitu kemenangan Peterpan dalam ajang MTV Asia Award tahun lalu. Namun, Uki menambahkan bahwa band-band papan atas Indonesia untuk bisa go international tak semudah dengan apa yang dibayangkan. Terlepas dari masalah nasionalisme, Uki mengaitkan pula dengan masalah pengaruh musik. “Namun, salah satu kesulitan yang sering menghinggapi para musisi papan atas itu yaitu maslah pengaruh musik saja. Masa kita bermain musik di luar negeri dengan influence-influence dari luar negeri juga. Kan aneh tuh. Bagi mereka mungkin musik seperti ini (influence luar negeri tersebut) udah biasa. Yah, analogisnya sih sama aja dengan orang bule maenin musik tradisionil kita yang udah nggak aneh bagi kita,” jawab Uki.

Berbicara tentang musik tentu tak bisa menghilangkan sebuah idealisme. Saya yakin dari miliaran band yang ada di muka bumi ini tentu memiliki suatu idealisnya masing-masing. Dengan suatu tendensi, idealis seperti referensi sebuah band dalam pola-pola bermusiknya. Begitu pula dengan Peterpan. Uki menceritakan perihal ego dalam konsentrasi bermusik. Salah satu menjaga eksklusivitas dan kondusivitas idealisme bermusik yah lewat influence bermusik tersebut yang telah menjadi patokan awal. Karena banyak orang yang justru menyalahkan bahwa band-band yang sell-out atau laku jutaan kopi adalah band yang tidak memiliki idealisme. Hahaha… pikiran picik seperti itu kadang suka ada di benak seseorang tersebut. “Yah, kadang harus bermain-main dengan ego juga. Untuk ukuran musik sih tergantung sama eksploitasi kita juga. Tergantung influence dalam diri kita juga. Dan itu sangat subyektif,” kata Uki menjawab perihal idealisme dalam bermusiknya.

Kemudian setelah menjadi rangkaian image, musik, lirik, dan idealisme merupakan satu paket utuh dalam bermusik. Dan Uki memprediksi akan seperti apa industri musik Indonesia selama dua tahun ke depan. “Dua tahun ke depan sih banyak label besar yang mencari sponsor untuk menutupi produksi rekaman jikalau si band itu gagal atau jeblok di pasaran. Selain itu membuka management artist juga,” jawab Uki membeberkan rahasia industri musik Indonesia saat ini. Sementara itu, Uki menambahkan pula rahasia industri musik Indonesia dalam mencari sebuah band. Dan band berorientasi sejuta kopi dengan paket image, musik, lirik, dan idealisme nge-pop masih menjadi buruan dan most wanted industri-industri musik besar Indonesia saat ini. “Untuk kondisi riil industri musik Indonesia sih masih tetap melayu, atau pop yang mendominasi. Namun, seperti yang sudah tadi disinggung di atas namun ini semua bisa berubah hanya tergantung dari medianya saja. Karena biasanya musisi-musisi papan atas sih mengincar daerah untuk pasar potensialnya. Karena orang daerah nggak banyak menuntut,” jawab Uki dengan diplomatis.

Orientasi-orientasi seperti itu kayaknya akan menjadi labirin yang terus berputar dari tahun ke tahun. Hal yang senada dengan Uki pun diucapkan oleh Eben Burgerkill, “industri musik di Indonesia mah bakalan sama aja dari tahun ke tahun dan tidak akan pernah berubah. Selama pelaku bisnis di industri ini ga mau ngebuka kesempatan dan wawasan mereka tentang keragaman musik yang ada di Indonesia yah hasilnya bakalan gini terus, setiap tahun bakalan ada Samsons-Samsons dan Radja-Radja yang baru dengan warna yang hampir sama dengan merk yang berbeda sebagai nama bandnya. Industri musik major di Indonesia ibarat restoran fastfood yang menawarkan paket-paket makanan yang berbeda walaupun sebenarnya isinya sama aja,” kata Eben Burgerkill yang bandnya (Burgerkill) pernah bernaung di bawah major label Sony BMG namun kini ia memutuskan keluar dari bandnya tersebut dan memilih kembali ke jalur independen.

Kalau dicermati menurut Eben bahwa “Selama pelaku bisnis di industri ini ga mau ngebuka kesempatan dan wawasan mereka tentang keragaman musik yang ada di Indonesia” merupakan kerja keras kita semua sebagai insan yang berkecimpung di blantika musik Indonesia. Dan wacana untuk mengubah industri musik Indonesia merupakan PR kita bersama. Akankah pola one million copied dengan racikan musik-musik nge-pop dan komersil masih juga kiasan kita dalam menguak wacana. Ini bukan hanya tugas orang label, kritikus, jurnalis, atau orang industri saja akan tetapi masyarakat general juga dalam mengapresiasi musik Indonesia akan lebih kritis. Bukankah kita tidak ingin terus dibuai dengan band-band mayor yang kayak-kayak “gitu” aja kan?

***

artikel ini telah diterbitkan di Ripple Magazine no. 46 "Uncool Music Industry Issue"

0 komentar:

Post a Comment