ketika kehidupan itu dirampas


Dewasa ini internet tidak lagi dianggap komputer berkabel semata, bagi sebagian orang internet kini dianggap sebagai “kehidupan”.

B
agaimana rasanya jika “kehidupan” itu dirampas? Jawabannya, tentu sangat tidak enak. Hal yang sama dialami oleh Gembi (23 tahun) yang merasa “kehidupannya” dirampas ketika keluarnya peraturan pemerintah soal pelarangan situs-situs yaitu Youtube, Myspace, Multiply, Rapidshare, Metacafe, Liveleak, dan Themoviefitna.com. Ia bingung bukan kepalang. Peraturan tersebut tentu membuatnya kecewa karena beberapa situs tersebut merupakan situs-situs favoritnya. Ia merasa internet sudah menjadi pilihan menarik untuk mengisi waktu dan terlibat banyak dalam ruang yang disajikan dunia maya tersebut.

“Gue ngabisin waktu buat internet bisa sampai enam jam per hari. Malah jika kondisinya memungkinkan dan tidak sibuk, bisa lebih dari itu,” ujar Gembi. Maka bisa dihitung jika orang-orang yang termasuk internet freak seperti Gembi ini rela meluangkan waktu 42 jam dalam seminggu untuk berkorelasi di dunia maya. Menurut Gembi, dari internet ia bisa mendapatkan banyak hal. Kebiasaanya paling umum yaitu berkorespondensi lewat situs-situs social networking baik Myspace maupun Multiply, mencari informasi lewat situs berita, blog, maupun, milis, hingga mengunduh lagu-lagu lewat situs-situs sharing music macam Rapidshare, Metacafe, hingga Liveleak.
Seperti halnya Gembi, banyak orang yang sudah merasa tidak bisa lepas dengan yang namanya internet dalam kehidupannya sehari-hari. Internet sudah lebih dari sekedar candu tapi sudah merasuk lebih ke dalam dan menjadi gaya hidup tersendiri. Situs-situs social networking macam Myspace, Friendster, Multiply, atau Facebook sudah kian popular di kalangan anak muda.
Tak terkecuali bagi para musisi, internet pun sudah menjadi media menarik buat berpromosi. Situs-situs seperti Myspace, Multiply, dan Youtube menawarkan jutaan fitur menarik agar musik mereka bisa dikenal tanpa ada batasan jarak, waktu, gender, usia, hingga daerah. Internet, buat para musisi, adalah ladang untuk berkreativitas.
Oleh karena itu, ketika ada keluarnya peraturan pemerintah soal pemblokiran beberapa situs tersebut, kalangan musisi kelabakan. Myspace, salah satu situs yang diblokir, menurut majalah Rolling Stone Indonesia, telah menjadi situs favorit para musisi untuk berpromosi. Lebih dari sejuta musisi telah gabung dengan situs social networking tersebut.
Gembi yang bekerja sebagai editor sebuah newsletter musik bernama Wasted Rockers dan memiliki sebuah band free-jazz bernama Sungsang Lebam Telak, menganggap internet berjasa besar akan keberlansungan karir bandnya.
“Tiap kali gue online pasti gue buka situs-situs kayak Myspace, Multiply, Youtube, dan Rapidshare,” ujar Gembi. “Apalagi gue juga kan punya media musik, jadi gue suka menemukan musik-musik keren buat gue resensi dari situs-situs tersebut. Selain itu, band gue juga bisa dirilis albumnya di Perancis yah berkat Myspace juga. Makanya kok aneh yah jika Myspace diblokir dan dianggap berbahaya?” pelan Gembi lirih. Bahkan sebuah band grindcore asal Jakarta yang sedang naik daun, Dead Vertical, dalam salah satu wawancaranya di situs indogrind.blogspot.com, menyebut “Myspace sangat berperan untuk media promosi dan komunikasi antar band dan komunitas (scene)..kalo sampai diblokir, berarti pemerintah kita sangat naïf, karena media ini bukan media yang berbahaya. Justru sangat membantu band-band serta seniman-seniman lainnya,” ujar mereka.
Kekecewaan seperti ini tak hanya tampak pada Gembi dan Dead Vertical semata, hal serupa pun dialami oleh Felix Dass, manajer band indie-pop asal Jakarta Ballads of The Cliché. Ia yang sering mempromosikan bandnya di milis maupun Multiply, begitu marah ketika tahu alamat multiply tempat ia biasa menuangkan uneg-uneg tulisannya, diblokir pemerintah dan dianggap situs berbahaya. Bahkan di alamat Multiply miliknya (www.pelukislangit.multiply.com) bisa ditemukan seberapa marahnya dia terhadap kebijakan pemerintah ketika Multiply dianggap situs berbahaya dan diblokir. Ia merasa kreativitas telah terpasung dalam sudut pandang yang sempit.
Efek Film Fitna
Latar belakang tindakan reaktif pemerintah dengan memblokir situs-situs tersebut berawal dari film Fitna yang takut menyebarluaskan isu yang tidak sedap di kalangan masyarakat Indonesia. Film Fitna yang dianggap menyudutkan agama Islam ditakutkan akan memancing reaksi emosionil warga mayoritas muslim ini.
Film Fitna yang selama ini menyebar di situs-situs internet seperti Youtube, Multiply, Rapidshare, Metacafe, dan Liveleak mengundang tindakan pemerintah lewat Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo), M. Nuh mengeluarkan Surat Menteri Komunikasi dan Informatika No. 84/M-KOMINFO/04/08 pada tanggal 2 April 2008 perihal Pemblokiran Situs dan Blog yang memuat film Fitna.
Pro dan kontra pun berguliran soal keputusan tersebut. Rencana Pemerintah untuk melakukan pemblokiran terhadap situs-situs tersebut telah mengundang berbagai macam reaksi dari berbagai pihak. Mulai dari para pengamat hingga pelaku bisnis di dunia maya, masing-masing mempunyai pendapat tersendiri yang tentunya juga didasarkan atas kepentingan dan latar belakang masing-masing.
Mulai dari segi bisnis hingga kreativitas banyak orang merasa dirugikan. Menurut situs suryalive.com, APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) menuntut tindakan pemerintah karena usahanya merugi. Kemudian beredar petisi (www.petitiononline.com) yang menuntut agar kebijakan pemblokiran tersebut dicabut karena dianggap sebagai pembodohan nasional. Bahkan pakar telematika Roy Suryo dalam sebuah media menentang kebijakan pemerintah tersebut. Apalagi isu yang berkembang Roy Suryo disinyalir mendukung tindakan pemerintah dan memusuhi para blogger yang notabene berkreasi lewat internet.
"Supaya tidak ada miss, saya sampaikan bahwa saya justru menentang penutupan membabi-buta hanya gara-gara konten Fitna," kata pengamat telematika Roy Suryo yang dengan opininya ini menepis anggapan miring terhadap para blogger tersebut.
Menurut Gembi, tindakan over-reaktif pemerintah ini dianggap sebagai tindakan yang tergesa-gesa dan dangkal. Apalagi tidak mengindahkan efek yang bakal terjadi di masyarakat setelah situs-situs tersebut diblokir. Internet merupakan sarana informasi yang global dan memiliki sisi negatif dan positif. Menurutnya, tidaklah tepat melakukan pemblokiran sebuah situs yang sangat banyak mengandung informasi dan terbukti membantu para pengguna internet, hanya karena penyebaran sebuah informasi dari orang yang tidak bertanggung jawab.
“Yah, tindakan pemerintah itu sama aja kayak membunuh tikus dengan membakar lumbung. Kenapa tidak tikusnya aja yang ditangkap? Kenapa gak film Fitna-nya doang yang diblokir, kok ini bisa sampai beberapa situs keseluruhan yang diblokir. Kan kasihan buat orang-orang yang memanfaatkan internet untuk mencari informasi dan berkreativitas. Pemerintah di satu sisi aja masih belum becus untuk ngurusin hal sepele kayak gini,” kata Gembi berapi-api.
Mungkin masih banyak Gembi-Gembi lainnya yang menyuarakan opini yang sama terhadap pemerintah. Menariknya orang-orang yang memiliki “kehidupan” di dunia maya ini akan turun lansung ke “dunia nyata” dan menggugat pemerintah jika kebijakan pemblokiran ini dilansungkan secara permanen, seperti dilihat dalam petisi para “korban” ini. Mereka beropini hampir tipikal. Semua mengeluhkan akan adanya pengekangan kreativitas dan menganggap pemblokiran tersebut sebagai pembodohan massal.
Kreativitas Bentuk Baru
Bagi musisi, kehidupan mereka sudah tidak bisa dilepaskan dengan yang namanya internet. Dunia maya itu sudah melebur melebihi tampilan yang semata ada di layar monitor saja. Fakta menuliskan bahwa musisi-musisi Indonesia berjasa besar akan adanya akses internet dalam keberlansungan karir mereka. Internet lewat fasilitas social networking bisa menjalin relasi lintas budaya secara masif dan general.
Contohnya, indie label asal Bandung yaitu FFWD Records bisa merilis album Club 8 asal Swedia karena interaksi lewat Myspace, The S.I.G..T. (band rock n roll asal Bandung) bisa dirilis di Australia berkat musik mereka yang bisa didengar lewat Myspace. Bahkan Mocca, Goodnight Electric, hingga Ballads of the Cliché bisa manggung di luar negeri berkat perantara internet dan komunikasi via social networking. Baru-baru ini, band pop asal Jakarta White Shoes and The Couples Company bahkan ikut dalam Festival SXSW di Texas berkat jasa Myspace pula. Itulah beberapa prestasi yang mengagumkan hasil kreasi anak negeri.
Gembi menuturkan bahwa internet bagi para musisi dipandang sebagai kreativitas dalam bentuk baru. Semua bisa dilakukan lewat layanan dunia maya, bahkan semua bisa dikendalikan hanya lewat depan monitor tanpa perlu terlibat langsung ke jalanan sebagaimana mestinya. Inilah era di mana potensi berkreativitas justru ditentukan melalui mouse dan layar monitor.
“ Semua masih ada alternatifnya. Internet masih bisa dijadikan ‘senjata’ dalam mengekspresikan kreativitas. Salah satunya, karena gue udah malas dengan referensi video klip yang ada di MTV, maka pilihannya gue lebih milih nonton di Youtube. Bahkan video karya kamu pun bisa tayang di sini dan ditonton oleh jutaan orang. Makanya potensi-potensi kreativitas kayak gini yang seharusnya dimaksimalkan. Penyebaran internet di wilayah Indonesia saja belum merata dengan benar. Banyak teman-teman kita yang belum bisa menikmati internet. Dengan pembekalan informasi, edukasi, dan potensi kreativitas, sudah selayaknya pemerintah bisa mengakomodir dengan tepat,” ujar Gembi panjang lebar.
Meski merasa tidak dirugikan secara materiill, orang-orang seperti Gembi lebih merasakan kekecewaan yang dalam. Dibalik rasa kecewa yang sudah muncul, kekhawatiran mereka lenyap sudah ketika pemblokiran tersebut hanya berlangsung dalam beberapa hari saja. Seperti menjadi pembelajaran bagi pemerintah yang muncul akibat kebijakan sembrono ini.
Mereka yang sudah memiliki “kehidupan” dalam dunia maya sudah terlanjur tercebur dalam kenikmatan yang disajikan dalam ruang 17 inch tersebut. Dibalik sisi negatif macam situs porno yang sekarang sedang menjadi tugas pemerintah untuk memblokirnya, internet juga menyimpan cerita dalam bentuk yang edukatif dan positif. Semua justru dikembalikan pada sisi personal si pemakai.

***

0 komentar:

Post a Comment