Biar Mahal asal Melegenda

Oleh Herlambang Jaluardi

Piringan hitam, pelat, atau vinil seolah merupakan warisan dari abad silam dan identik dengan kekunoan. Dua tahun belakangan format ini justru kembali menjadi tren dan berputar kencang menentang arus pembajakan musik berformat digital.

Pearl Jam, band rock asal Seattle, Amerika Serikat, pernah menulis lagu tentang kecintaan mereka terhadap piringan hitam. Judulnya "Spin the Black Circle", dirilis tahun 1994. Semula banyak yang menginterpretasikan lagu itu dengan konsumsi heroin karena ada kata-kata needle atau jarum yang dinyanyikan oleh segerombolan lelaki kumuh berambut panjang. Namun, di hadapan ribuan penggemar pada sebuah konser, Eddie Vedder, vokalis, menyatakan bahwa lagu itu hanya menceritakan keasyikan mendengarkan piringan hitam. "It's about old records, anyone remember old records?" katanya seperti yang terdengar dalam rekaman tak resmi konser itu.


Pernyataan itu seolah menggambarkan bahwa perkembangan musik tidak bisa lepas dari masa lalu. Musik dari masa lalu itu terekam sempurna lewat medium berbahan polyvinyl chloride.

Yongki Perdana, pemilik toko Quickening, yang menjual pernak-pernik band dan piringan hitam, mengatakan, pembelinya lebih banyak mengumpulkan piringan hitam dari band-band lawas dan menjadi penanda pada masanya. Ia menyebutkan nama-nama jaminan mutu band beraliran punk dan metal dari dekade 1970-an yang piringan hitamnya banyak dibeli, seperti Minor Threat, Youth of Today, Metallica, dan Morrissey.

"Musik (zaman) sekarang umumnya hanya penambahan atau percampuran dengan musik dulu, nggak ada yang baru. Nah, mereka menunjukkan apresiasi terhadap musik dari band-band yang mengubah zaman itu dengan mengumpulkan piringan hitamnya," kata Yongki yang mulai berjualan vinil sejak 2005.
Meski demikian, tak semua piringan hitam yang dijual Yongki itu milik band-band lawas. Ia juga menjual piringan hitam dari band baru dekade 1990-an hingga 2000-an, seperti Alkaline Trio, Belle and Sebastian, dan High on Fire. Pembelinya rata-rata berusia 25-35 tahun.

Relatif mahal
Idhar Resmadi adalah salah seorang pengumpul vinil. Penulis lepas ini mengaku mulai mengumpulkan vinil pada 2006. Album pertama yang ia punya adalah album Greatest Hits milik The Beach Boys, band rock era 1960-an. Band ini disebut-sebut sangat berpengaruh pada warna musik band indie rock masa kini, semisal Weezer.

"Koleksi saya berimbang antara album baru dan album lama," kata pengarang buku Music Records Indie Label ini. Ia mengaku kini baru punya sekitar 70 keping. Harga yang relatif mahal untuk ukuran mahasiswa seperti dirinya, yaitu Rp 300.000-Rp 400.000 per keping, dan sulitnya mencari rilisan berkualitas menjadi kendala.

Idhar sangat menikmati lagu-lagu dari piringan hitam. Pasalnya, ia bisa mendengar semua bebunyian secara detail. Bunyi itu keluar dari pemutar merek Diatone dan seperangkat pengeras suara dengan harga sekitar Rp 2 juta. "Mahalnya modal bisa langsung lupa setelah dengar kualitas suaranya," ujarnya.

Sebagai penjual, Yongki mengamati, peminat piringan hitam meningkat deras dalam dua tahun ini. Ia menduga, hal itu disebabkan penikmat musik tidak lagi terpuaskan dengan maraknya musik berformat digital, seperti MP3, apalagi hasil bajakan. Dalam sebulan, dari sekitar 60 keping yang dijajakan di Quickening, kata Yongki, hanya tersisa lebih kurang 15 keping yang tak terjual. Putaran "si hitam" memang sedang tidak terhentikan....

Kompas, Sabtu, 19 Juni 2010

0 komentar:

Post a Comment