Budaya Lokal dan Glokalisasi

Bagaimana mewujudkan rekonstruksi ideal nasionalisme anak muda Indonesia saat ini melalui apresiasi budaya lokal yang sesuai dengan era globalisasi?

Klaim Tari Pendet oleh Malaysia membuat rakyat Indonesia kembali naik pitam. Gara-gara tari itu tayang dalam sebuah iklan pariwisata Malaysia, kekesalan dan kegeraman kita meledak. Belum rasa kesal akibat Blok Ambalat, lagu “Rasa Sayange”, batik, hingga Reog Ponorogo diakui oleh Negeri Jiran, kembali kita diuji dengan klaim Tari Pendet tersebut. Lontaran kekesalan dan kemarahan dalam tweets menghiasi para pemakai situs microblogging Twitter memersoalkan insiden budaya tersebut, belum ulasan-ulasan di media massa yang menggunjingkan isu itu semakin memerkeruh suasana. Desakan-desakan dari masyarakat Indonesia dan khususnya masyarakat Bali terhadap pemerintah agar segera mengambil tindakan terhadap kasus Tari Pendet. Desakan mulai dari gugatan terhadap Pemerintah Malaysia hingga desakan soal pemakaian Hak Cipta atau Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) terhadap Tari Pendet dan karya seni-karya seni lainnya yang tersebar di pelosok Indonesia.


Terlalu naïf saya pikir jika hanya mengandalkan pemerintah. Jika persoalannya adalah hal ihwal nasionalisme, maka ini bukan semata urusan pemerintah. Nasionalisme tak hanya milik pemerintah. Nasionalisme tak hanya urusan pemerintah. Tapi masyarakat Indonesia sendiri punya andil sangat besar kenapa kita bisa kehilangan budaya-budaya lokal kita sendiri. Apakah memang kita melupakan, tidak peduli, atau sengaja apatis terhadap budaya lokal kita sendiri dan lalu mencak-mencak jika ada yang “merampok” untuk seraya bersedia melakukan “jihad” agar budaya milik kita sendiri tak lantas hilang direbut musuh. Lantas muncul perasaan nasionalis yang membumbung di udara seolah-olah jika memang persoalannya nasionalisme telah diinjak-injak oleh negara tetangga atau Tanah Air kita yang dilecehkan. Nasionalisme yang muncul pun lantas mengubah wajah nasionalisme yang penuh aura negatif, kesal, marah, jijik, tanpa pernah berpikir apakah kita sudah cukup pintar mengapresiasi budaya lokal kita sendiri. Kita kemudian seolah menjadi bangsa yang paranoid dan rendah diri.

Bukan mitos jika memang negara kita kaya akan budaya. Sesuatu yang patut membuat kita bangga. Dari pelosok Sabang sampai Merauke tersebar beragam kekayaan anak negeri mulai dari bentuk budaya ragawi atau budaya fisik macam arsitektur, candi, rumah adat, alat tradisionil, hingga bentuk budaya non-fisik mulai dari tarian, nyanyian daerah, dll. Kekayaan tersebut tentu adalah modal berharga bangsa Indonesia. Seringkali anak muda yang dicap sebagai generasi penerus bangsa, adalah yang patut melestarikan kekayaan bangsa tersebut.

Tapi pada kenyataanya, nasionalisme anak muda Indonesia berada di simpang jalan. Di era globalisasi seperti ini nasionalisme anak muda tergerus oleh arus budaya impor yang begitu permisif dan masif. Hal ini menimbulkan tumbuhnya sikap skeptis dan apatis terhadap keberadaan budaya lokal. Berapa banyak anak muda di Jawa Barat yang sedih ketika tradisi-tradisi sunda semakin terpinggirkan. Hal ini bisa tercermin dari kurangnya pagelaran seni sunda lokal dan kurangnya gedung-gedung kesenian yang representatif seperti terlantarnya Gedung Seni Rumentang Siang di Bandung.

Jika hasilnya memang nihil, siapa yang patut disalahkan? Pemerintah yang terlalu cuek? Kurikulum pendidikan yang kurang cerdas memberikan pendidikan soal budaya lokal? Generasi tua yang gagal menyampaikan pentingnya budaya lokal terhadap generasi penerus? Atau generasi muda yang terlalu apatis dan cenderung skeptis terhadap budaya warisan leluhurnya sendiri?

Kunci utamanya memang soal pengetahuan (knowledge). Budayawan Remy Sylado pernah menulis tentang ketidaktahuannya kita terhadap akar budaya sendiri sehingga hanya bisa saling menuding “maling” pada Malaysia, tanpa tahu bahwa budaya Indonesia sendiri banyak mengadaptasi atau mencuri budaya asing dalam tulisannya “Sesama Penyolong Jangan Saling Mendahului” (Kompas, 6 September 2009). Ia menulis jika lagu “Panon Hideung” ternyata lagu tradisionil Rusia yang diaransemen di Amerika oleh Horlick & Gregory Stone dan masuk hak cipta pada 1926 di bawah Carl Fischer Inc, lalu diperkenalkan di Indonesia, melalui Bandung pada tahun yang sama oleh pemusik Rusia bernama Varvolomeyev, atau siapa yang tahu juga jika lagu “Hallo-Hallo Bandung” aslinya ciptaan seorang prajurit Siliwangi bernama Lumban Tobing yang dinyanyikan bersama peleton Bataknya dari long march Yogyakarta- Bandung di zaman revolusi. Lagu itu pun hanya sama judul, tapi beda melodi dan lirik dengan lagu Belanda nyanyian Willy Derby pada 1929 ketika radio NIROM (Nederlands Indische Radio Omroep Maatschappij)beroperasi di Bandung versi baru rekaman ini dinyanyikan lagi oleh Wieteke van Dort di TV Belanda dalam De Stratemakeropzeeshow, 1972, dan dicetak teksnya pada 1992 dalam De Wduwe van Indie.

Persoalan pengetahuan ini memang muncul karena memang tidak terciptanya kepekaan yang signifikan dan kontinyu terhadap keberadaan budaya lokal. Apresiasi yang rendah bisa jadi salah satu pemicu kenapa sikap-sikap skeptis dan cenderung apatis yang muncul. Siapa yang peduli dengan lagu “Panon Hideung”? Siapa yang tertarik menyanyikan lagu “Hallo-Hallo Bandung”? Baru ketika persoalan karya budaya tersebut dicuri baru berkoar-koar merasa yang paling memiliki. Dan seharusnya sikap yang muncul adalah bukan nasionalisme semu yang berkobar-kobar tapi rendah apresiasi. Mengutip ucapan Soekarno, “Ganyang Malaysia”, maka jawaban yang tepat untuk menghadapi situasi yang relevan dengan kondisi sekarang ini bagi generasi anak muda Indonesia era Facebook adalah “ganyang apatisme”.

Paduan Lokal dan Global

Delapan windu kemerdekaan Indonesia tentu saja tak dibangun dalam waktu yang singkat dan tanpa tetesan keringat. Perjuangan untuk menyatukan Indonesia sejak zaman Majapahit, sumpah pemuda, hingga proklamasi kemerdekaan yang menciptakan semangat nasionalisme dari zaman kerajaan, kolonial, modern, hingga zaman post-modern seperti sekarang ini, nasionalisme tetap tumbuh bagai mitos. Perjuangan dan nasionalisme berubah wajah seiring dengan alat perjuangan itu sendiri dan sesuai perkembangan zaman dengan makna mitos nasionalisme dan perjuangan itu sendiri.

Seperti pada zaman Soekarno, nasionalisme telah menjadi roda untuk membangkitkan perasaan rasa cinta tanah air dengan anti-konsumsi budaya barat. Kita masih ingat dengan pidato Soekarno pada tahun 1964 yang mengeluarkan instruksi presiden untuk kembali kepada kepribadian dan kebudayaan sendiri. Hasilnya Soekarno melarang segala sesuatu yang berbau impor (istilah Soekarno waktu itu yaitu imperialisme budaya barat). Menurut Barbara Hatley, Soekarno mempraktikkan kecintaan terhadap tradisi-tradisi daerah untuk diolah menjadi sumber kebanggaan dan perasaan akan identitas di masa sebelumnya yang menjadi aspirasi-aspirasi politik nasionalis yang kuat.

Namun, hari ini globalisasi tampak jelas di depan mata. Pengaruh budaya barat tak bisa kita kesampingkan. Kini, negara atau bangsa terbentuk dalam suatu sistem global dan kemunculan sentimen nasionalis pada masa kini dapat dipandang sebagai aspek globalisasi. Terlalu naïf pula jika globalisasi tak bisa dihadang dan mempertahankan budaya lokal dan nasionalisme Indonesia “apa-adanya”. Akan jadi romantis, angkuh, dan tidak realistis untuk mengatakan bahwa masyarakat dan budaya harus tetap sebagaimana adanya. Karena budaya barat pun dengan serta merta kini telah menjadi bagian kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia saat ini terutama di kalangan generasi muda. Inilah yang menjadi semacam pertanyaan besar; Apakah budaya lokal kita bisa selamat di era global? Akan adakah nilai-nilai budaya lokal yang mengagungkan nilai spiritual yang luhur, adiluhung, dan Timur di tengah deras dunia yang kian sempit dan datar ini?

Berkaca dari konteks pengaruh era globalisasi terhadap budaya lokal, di zaman Facebook seperti ini budaya lokal rasanya semakin terpinggirkan. Warisan budaya lokal kita semakin jauh terpinggirkan dari ingatan publik, baik generasi tua apalagi generasi muda, di tengah gelombang munculnya “budaya baru” di era globalisasi yang terus menjamur.

Jika tak ingin mempelajari dan mengapresiasi budaya lokal, maka kita rakyat Indonesia sendiri yang memutilasi budaya lokal yang notabene telah lahir dari tanah kita sendiri. Tantangan yang ada pun bukan semata persaingan pasar globalisasi. Mempertahankan apa yang telah kita miliki dari gerusan globalisasi adalah perjuangan anak muda Indonesia saat ini. Bukan berarti tanpa perlu terlibat dalam persaingan globalisasi, tapi bagaimana bisa beradaptasi dengan kekayaan budaya lokal dan membuat kita bangga terhadap budaya sendiri.

Untuk mengganyang kebodohan kita bisa mulai dari hal yang sangat kecil tapi sangat berarti, apresiasi budaya lokal kita sendiri. Joost Smiers dalam buku Arts Under Pressure memberi contoh bahwa apresiasi bisa hadir dalam beragam bentuk modifikasi. Ia memberi contoh dengan apa yang terjadi terhadap situasi budaya lokal yang terjadi di Myanmar. Pertunjukkan wayang boneka di negara itu telah menghilang dengan cepat. Lewat perkembangan pariwisata, beberapa rombongan wayang ini terselamatkan, diantaranya adalah melalui gedung pertunjukkan Mandalay yang sepuluh tahun lalu dibangun dekat istana kerajaan. Secara bertahap publik Myanmar kembali tertarik pada bentuk pertunjukkan tersebut dan kunjungan ke sekeliling kampung pun dimulai. Namun hanya tinggal ada satu kelompok yang menyajikan pertunjukkan boneka ini secara otentik, dengan orkes lengkap, para penyanyi untuk peran-peran utama dan enam hingga delapan actor untuk menggerakkan bonekanya. Selebihnya, para pemain dan wayang boneka yang mengadakan pertunjukan di hotel-hotel dan restoran mementaskan wayang dengan iringan musik yang dimainkan lewat putaran kaset.

Atau bisa disimak dengan yang terjadi di negara-negara Afrika. Ranah produksi kebudayaan di Afrika tidak dapat diklasifikasikan sebagai “tradisionil” ataupun “Barat” dalam hal inspirasinya, sebab produksi budaya tersebut telah mengangkangi dan melarutkan perbedaan di antara keduanya. Seperti bisa disimak pada teater rakyat Yoruba ditampilkan di dalam film, televisi, dan video, penulis-penulis Tanzania telah menerbitkan ratusan novel detektif dalam bahasa Swahilli, atau orang-orang Zimbabwe menggubah lagu-lagu Chimurenga (semacam musik popular semasa perang kemerdekaan Zimbabwe) untuk memudahkan mobilisasi mereka melawan Front Rhodesia. Genre-genre ini bukanlah gudang penyimpanan bagi beberapa keaslian kuno, malah sebaliknya genre-genre tersebut memanfaatkan semua bahan kontemporer yang tersedia untuk berbicara mengenai perjuangan kontemporer. Hal- hal tersebut juga bukan produk dari “kontak kebudayaan”, bukan pula produk yang bertutur tentang- dan kepada- Barat yang telah “mengorup” mereka. Semua itu adalah karya produsen-produsen budaya lokal yang berbicara kepada audiens lokal mengenai keprihatinan, pengalaman, dan perjuangan penuh tekanan yang mereka rasakan bersama. (Barber 1997: 2 dalam Arts Under Pressure).

Dari persfektif tersebut, bisa diambil kesimpulan jika tantangan mempertahankan budaya lokal memang butuh sebuah inovasi terbaru yang sesuai dengan konteks kontemporer zaman sekarang. Saat ini, nasionalisme tak bisa dipandang dengan cara yang kaku dan baku. Nasionalisme hari ini tak bisa sekedar diukur dari perjuangan dengan bambu runcing, hafalan P4, atau sekedar upacara bendera di Gunung Bromo.
Di tengah era globalisasi seperti ini, jika memang nasionalisme hari ini masih tetap ada, ada semacam bentuk dekonstruksi terhadap nasionalisme Indonesia. Ia adalah tantangan generasi muda untuk menciptakan nasionalisme baru yang menatap ke depan, menghadapi tantangan masa depan, pada saat bersamaan semangat globalisasi harus diakomodasi ke dalam jiwa nasionalisme Indonesia tanpa harus terjebak ke dalam agenda-agenda globalisme. Tantangan yang muncul adalah menghadapi arus nasionalisme yang dibentuk arus global yang diwarnai oleh nilai-nilai lokal. Nasionalisme anak muda Indonesia yang berada di simpang jalan, dapat menatap nasionalisme yang modern dan beradap dalam menghadapi zaman.

Simak seperti yang dilakukan oleh kelompok Pixel People Project dari Bandung yang mengembangkan software bernama Batik Fractal. Tiga anak muda dari Bandung tersebut menggabungkan batik sebagai salah satu kekayaan budaya lokal Indonesia dengan tenik fractal atau merupakan cabang ilmu matematika yang mempelajari teknik perulangan. Boleh dikatakan, mereka menciptakan software untuk pembuatan pola dan corak batik perdana di Indonesia dan pencipta batik fractal di Tanah Air. Penggunaan software Batik Fractal ini sudah diapresiasi sedemikian luas mulai dari Kementerian Riset dan Teknologi sampai badan internasional sekelas USAID.

Festival musik Bandung Deathfest yang telah eksis sejak tahun 2006 di Bandung bisa jadi contoh menarik lainnya. Festival Deathfest ini merupakan festival musik death metal yang notabene merupakan budaya luar, namun dikolaborasikan dengan seni tradisi sunda seperti debus, kuda lumping, dan pencak silat dalam rangkaian gelaran festival tersebut. Dengan slogan “Panceg Dina Galur” (setia pada jalur) dan dengan lambang dua buah kujang sebagai identitas Sunda. Tujuan dari festival tersebut yaitu untuk menyadarkan kaum muda Sunda agar senantiasa tergerak peka dan apresiatif terhadap seni tradisi leluhur sendiri. Bahkan mengolaborasikan budaya barat dengan budaya lokal pun bukan sesuatu yang mustahil dan nihil, tapi justru bisa membentuk sebuah edukasi yang baru.

Simak juga kolaborasi antara budaya barat dengan budaya lokal ketika sebuah grup band punk asal Bandung bernama Tcukimay yang menampilkan alat musik kendang lewat balutan distorsi musik rocknya, atau sekelompok anak punk asal Cicalengka yang menamakan dirinya Punklung dan memainkan musik punk dengan angklung lengkap dengan lirik penuh perlawanan, atau anak-anak muda dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) yang tergabung dalam komunitas wayang cyber yang memadukan cerita wayang dengan teknologi, atau penampilan seniman muda yang tergabung dalam Karinding Attack yang berupaya melestarikan alat musik tradisionil Sunda Karinding yang berkolaborasi dengan seniman Koto dari Jepang saat tampil di Common Room Bandung atau tampil di acara jazz internasional yang diselenggarakan oleh CCF Bandung.

Alhasil, wajah nasionalisme saat ini telah berubah. Ia butuh sesuatu yang kontemporer dan bersifat hibridasi agar bisa menantang anak muda untuk semakin peka, apresiatif, dan malah sanggup mengekspresikannya yang sesuai dengan konteks zaman. Kita sendiri memiliki template soal budaya lokal kita yang apresiatif dan memiliki cita rasa kebanggaan terhadap budaya lokal, tanpa terasingkan dari budaya luar. Ekonomi kreatif macam desain clothing pun tak hanya bersifat instant dan plagiat dari luar negeri tapi bisa mengadaptasi dari beragam desain lokal, industri musik yang tak hanya terhegemoni musik pop dari luar semata, atau industri film yang yang tak sesuai dengan konteks keseharian masyarakat Indonesia dan hanya bergaya hidup bak Hollywood. Tapi kita bisa menginovasikan budaya lokal terhadap berbagai bentuk dan cara. Ketika kita mulai peka terhadap produk-produk budaya kita, sebaiknya pulalah kita semakin intens belajar tentang kekayaan intelektual nenek moyang kita sendiri. Kita pun memiliki kebanggaan terhadap budaya sendiri bukanlah omong kosong.

Dari contoh tersebut, ketika budaya lokal kita masih dicuri tetangga, setidaknya kita sudah melangkah lebih jauh dengan mengapresiasi dan mengembangkan budaya lokal sendiri yang menjawab tantangan zaman. Dibanding kita mencak-mencak karena budaya kita sendiri dicuri orang, men-sweeping warga Malaysia seperti yang terjadi di Jakarta, atau membakar bendera Malaysia seperti yang terjadi di Medan, kenapa kita tidak kembangkan saja budaya lokal sendiri yang sesuai dengan tantangan zaman, seperti menuliskan berita tweets bahwa budaya Indonesia sangat kaya inovasi lewat Twitter, mengupload video-video soal angklung, karinding, atau kendang di Youtube, dan dengan beragam cara yang bisa membuat kita bangga sebagai “Indonesia” dan biarkan seluruh dunia mengetahui kekayaan bangsa kita. Sanggupkah kita?

1 komentar:

Anonymous said...

Thankyou so much! You help me out about the example of glocalization in Bandung!

Post a Comment