Burn Your Television, Read More
She stepped off the bus out into the city streets/ just a small town girl with her whole life/ packed in a suitcase by her feet/ but somehow the light’s didn’t/ shine as bright as they did/ on her mamas tv screen/.
Jika mencermati penggalan lirik lagu “Fallen Angel” dari grup band Poison di atas, rasanya televisi bukan lagi sekedar kotak elektronis yang memancarkan sinar biru katoda atau sekedar medium representasi dan kumpulan citra. Lebih dari itu, televisi kita sehari-hari telah menjadi tingkat konsumsi. Menyedihkannya, kita mengkonsumsi apa yang tidak layak konsumsi? Basi? Eksploitasi? Minim edukasi?
Indonesia adalah negara yang memiliki tv nasional terbanyak kedua dengan sebelas tv nasional yaitu TVRI, RCTI, SCTV, Indosiar, TPI, ANTV, Trans TV, TV 7, Tv One, Global TV, dan Metro TV, selain Sri Langka yang memiliki 24 televisi nasional. Sebagai perbandingan, negara Amerika serikat saja “cuman” memiliki empat buah saja tv nasional. Ini membuktikan bahwa tingkat konsumsi tv di Indonesia begitu mendominasinya, karena permintaan atau kekuatan pasar-lah (market forced) yang memiliki peran sangat kuat.
Itulah bagaimana digdayanya kekuatan televisi. Mulai dari mempengaruhi, mendoktrin, mendogma, bahkan mencuci otak. Ibarat junk food, semua bisa tersaji cepat oleh televisi. Mengkonsumsi mentah-mentah televisi sudah menjadi oksigen sehari-hari. Semua sajiannya sudah ada, mulai dari yang menyukai infotainment, sinetron, berita, sit-kom, kuis, olahraga, dll. Satu hal yang pasti yaitu mereka menawarkan kesamaan, tipikal, dan konsumsi yang homogen. Maka, tak aneh rasanya jika kecenderungan pemikiran masyarakat jadi mudah disetir oleh televisi.
Contohnya saja, dunia sinetron. Sepuluh peringkat teratas program favorit di Indonesia ternyata dihuni oleh tayangan sinetron. Tayangan sinetron (drama series) juga mendominasi daftar tersebut dengan 43%. Bandingkan dengan tayangan berita yang hanya 2%. Portofolio sinetron ternyata masih dipegang oleh SCTV dengan 18 judul, disusul RCTI dengan 15 judul, TPI (7 judul), dan Indosiar (3 judul). Fenomena ini sebagai sinetron domination, atau, mungkin lebih tepatnya sinetron invasion.
Kehadiran sinetron pada waktu prime time membuat sinetron menjadi sajian utama. Padahal apa yang ditampilkan merupakan bentuk-bentuk eksploitasi emosi yang merupakan kisah-kisah klise semata. Eksploitasi pun dilakukan. Televisi lebih menganggap bahwa kisah-kisah sedih, haru, dan murung sebagai nilai jual sempurna. Eksploitasi soal kekerasan fisik hingga mental pun tak jauh dari objek cerita.
Sistem produksi yang lewat kejar tayang membuat si pembuat lebih memilih kuantitas dibandingkan kualitas. Jadinya sistem instant seperti ini menjadi pemicu. Dalam satu minggu saja sistem kejar tayang bisa berlangsung ngebut demi waktu tayang. Berbeda dengan sistem season yang diproduksi oleh televisi Amerika, misalnya.
Akibatnya, praktek tiru-meniru menjadi hal lazim. Budaya latah terjadi. Ketika tema agama sedang ramai maka tv lain pun serupa. Malangnya tak sedikit acara-acara sinteron yang meniru juga sinetron luar seperti: Benci Bilang Cinta mirip film Goong/Princess Hours atau Buku Harian Nayla mirip Ichi Rittoru No Namida/1 Litre of Tears. Pokoknya banyak banget deh tiru-menirunya.
Dunia berita tak jauh beda. Di layar kaca, berita sudah menjadi produk hiburan tak semata karya jurnalistik saja. Berita harus dapat dijual. Dan berita pun harus berdasarkan survei pasar. Makanya berita alih-alih membawa kita pada pengertian yang lebih baik atau memahami realitas dan pintu kebenaran. Seperti yang ditulis Kunda Dixit (1997) bahwa berita seolah tanpa tulang. Seolah-olah berita bisa menjadi dramatisasi antara wartawan dengan pihak lainnya.
Di dunia hiburan pun sama. Parahnya, eksploitasi fisik menjadi kunci. Untuk dunia komedi butuh orang bertubuh kurang cakep, fisik yang kurang, atau berperilaku kebanci-bancian, atau lawakan-lawakan yang tendensius. Dunia selebritis pun mengharapkan model-model tampan dan cantik bak miss universe. Makanya jika aktor atau aktris local kita kekurangan aktor yang berkarakter dan memiliki integritas. Karena semua dilihat dari tampang, bukan sikap!
Sayangnya, kita seperti menjadi mangsa kekerasan televisi. Kita ibarat perawan di sarang penyamun menghadapi dominasi media televisi. Kita mungkin mengidamkan adanya aturan publik yang menjadi palu bagi stasiun televisi seperti halnya Fairness Doctrine yang mewajibkan televisi untuk tunduk pada kebenaran dalam tayangan-tayangannya dalam berita. Atau adanya semacam V-Chip untuk mereduksi “kekerasan” yang kita terima akibat rating televisi.
Saya pikir terlalu naïf jika televisi di Indonesia bakal cepat berubah. Televisi di Indonesia saya yakin pasti bakal “anteng-anteng” aja mesti dikiritik sana-sini. Televisi masih terlalu arogan. Maka kuncinya adalah masyarakat itu sendiri untuk mengubahnya. Masyarakat mengidamkan memiliki otokritik sendiri terhadap konsumsinya dalam televisi, terutama dalam pengembangan nilai-nilai moral, sosial, dan budaya.
Saya jadi ingat dalam sebuah percakapan dalam performance art tahun 1975 yang digalang oleh kolektif Ant Farm. “Haven’t you ever wanted to put your foot through your television screen” ujar salah satu aktor berjudul “Media Burn” tersebut. Yup, kita bisa seperti itu. Dua dekade setelah itu, generasi yang lahir di era televisi kini bisa mencoba untuk melawan. Seperti halnya video kolase yang dilakukan oleh Emergency Broadcast Network dan sutradara Phil Pateris.
Jika mencermati penggalan lirik lagu “Fallen Angel” dari grup band Poison di atas, rasanya televisi bukan lagi sekedar kotak elektronis yang memancarkan sinar biru katoda atau sekedar medium representasi dan kumpulan citra. Lebih dari itu, televisi kita sehari-hari telah menjadi tingkat konsumsi. Menyedihkannya, kita mengkonsumsi apa yang tidak layak konsumsi? Basi? Eksploitasi? Minim edukasi?
Indonesia adalah negara yang memiliki tv nasional terbanyak kedua dengan sebelas tv nasional yaitu TVRI, RCTI, SCTV, Indosiar, TPI, ANTV, Trans TV, TV 7, Tv One, Global TV, dan Metro TV, selain Sri Langka yang memiliki 24 televisi nasional. Sebagai perbandingan, negara Amerika serikat saja “cuman” memiliki empat buah saja tv nasional. Ini membuktikan bahwa tingkat konsumsi tv di Indonesia begitu mendominasinya, karena permintaan atau kekuatan pasar-lah (market forced) yang memiliki peran sangat kuat.
Itulah bagaimana digdayanya kekuatan televisi. Mulai dari mempengaruhi, mendoktrin, mendogma, bahkan mencuci otak. Ibarat junk food, semua bisa tersaji cepat oleh televisi. Mengkonsumsi mentah-mentah televisi sudah menjadi oksigen sehari-hari. Semua sajiannya sudah ada, mulai dari yang menyukai infotainment, sinetron, berita, sit-kom, kuis, olahraga, dll. Satu hal yang pasti yaitu mereka menawarkan kesamaan, tipikal, dan konsumsi yang homogen. Maka, tak aneh rasanya jika kecenderungan pemikiran masyarakat jadi mudah disetir oleh televisi.
Contohnya saja, dunia sinetron. Sepuluh peringkat teratas program favorit di Indonesia ternyata dihuni oleh tayangan sinetron. Tayangan sinetron (drama series) juga mendominasi daftar tersebut dengan 43%. Bandingkan dengan tayangan berita yang hanya 2%. Portofolio sinetron ternyata masih dipegang oleh SCTV dengan 18 judul, disusul RCTI dengan 15 judul, TPI (7 judul), dan Indosiar (3 judul). Fenomena ini sebagai sinetron domination, atau, mungkin lebih tepatnya sinetron invasion.
Kehadiran sinetron pada waktu prime time membuat sinetron menjadi sajian utama. Padahal apa yang ditampilkan merupakan bentuk-bentuk eksploitasi emosi yang merupakan kisah-kisah klise semata. Eksploitasi pun dilakukan. Televisi lebih menganggap bahwa kisah-kisah sedih, haru, dan murung sebagai nilai jual sempurna. Eksploitasi soal kekerasan fisik hingga mental pun tak jauh dari objek cerita.
Sistem produksi yang lewat kejar tayang membuat si pembuat lebih memilih kuantitas dibandingkan kualitas. Jadinya sistem instant seperti ini menjadi pemicu. Dalam satu minggu saja sistem kejar tayang bisa berlangsung ngebut demi waktu tayang. Berbeda dengan sistem season yang diproduksi oleh televisi Amerika, misalnya.
Akibatnya, praktek tiru-meniru menjadi hal lazim. Budaya latah terjadi. Ketika tema agama sedang ramai maka tv lain pun serupa. Malangnya tak sedikit acara-acara sinteron yang meniru juga sinetron luar seperti: Benci Bilang Cinta mirip film Goong/Princess Hours atau Buku Harian Nayla mirip Ichi Rittoru No Namida/1 Litre of Tears. Pokoknya banyak banget deh tiru-menirunya.
Dunia berita tak jauh beda. Di layar kaca, berita sudah menjadi produk hiburan tak semata karya jurnalistik saja. Berita harus dapat dijual. Dan berita pun harus berdasarkan survei pasar. Makanya berita alih-alih membawa kita pada pengertian yang lebih baik atau memahami realitas dan pintu kebenaran. Seperti yang ditulis Kunda Dixit (1997) bahwa berita seolah tanpa tulang. Seolah-olah berita bisa menjadi dramatisasi antara wartawan dengan pihak lainnya.
Di dunia hiburan pun sama. Parahnya, eksploitasi fisik menjadi kunci. Untuk dunia komedi butuh orang bertubuh kurang cakep, fisik yang kurang, atau berperilaku kebanci-bancian, atau lawakan-lawakan yang tendensius. Dunia selebritis pun mengharapkan model-model tampan dan cantik bak miss universe. Makanya jika aktor atau aktris local kita kekurangan aktor yang berkarakter dan memiliki integritas. Karena semua dilihat dari tampang, bukan sikap!
Sayangnya, kita seperti menjadi mangsa kekerasan televisi. Kita ibarat perawan di sarang penyamun menghadapi dominasi media televisi. Kita mungkin mengidamkan adanya aturan publik yang menjadi palu bagi stasiun televisi seperti halnya Fairness Doctrine yang mewajibkan televisi untuk tunduk pada kebenaran dalam tayangan-tayangannya dalam berita. Atau adanya semacam V-Chip untuk mereduksi “kekerasan” yang kita terima akibat rating televisi.
Saya pikir terlalu naïf jika televisi di Indonesia bakal cepat berubah. Televisi di Indonesia saya yakin pasti bakal “anteng-anteng” aja mesti dikiritik sana-sini. Televisi masih terlalu arogan. Maka kuncinya adalah masyarakat itu sendiri untuk mengubahnya. Masyarakat mengidamkan memiliki otokritik sendiri terhadap konsumsinya dalam televisi, terutama dalam pengembangan nilai-nilai moral, sosial, dan budaya.
Saya jadi ingat dalam sebuah percakapan dalam performance art tahun 1975 yang digalang oleh kolektif Ant Farm. “Haven’t you ever wanted to put your foot through your television screen” ujar salah satu aktor berjudul “Media Burn” tersebut. Yup, kita bisa seperti itu. Dua dekade setelah itu, generasi yang lahir di era televisi kini bisa mencoba untuk melawan. Seperti halnya video kolase yang dilakukan oleh Emergency Broadcast Network dan sutradara Phil Pateris.
0 komentar:
Post a Comment